Review Film 28 Years Later: Petualangan Brutal di Tengah Evolusi Zombi

Ayu Nabila | Athar Farha
Review Film 28 Years Later: Petualangan Brutal di Tengah Evolusi Zombi
Poster Film 28 Years Later (IMDb)

Dua dekade lebih sejak dunia dihantui virus ‘rage’ yang membuat manusia berubah jadi zombi super cepat, Danny Boyle dan Alex Garland akhirnya kembali menyambung kisah yang dulu bikin genre horor post-apocalyptic melonjak.

Eits, jangan harap film ketiganya, ‘28 Years Later’, sebatas nostalgia atau aksi lari-larian dari makhluk mengerikan. Film ini menyajikan sesuatu yang berbeda, lebih gelap, lebih simbolik, bahkan kadang menyentuh ranah satir sosial dan folk horror khas Inggris.

Penasaran detail kilas kisahnya? Sini merapat dan kepoin bareng, yuk!

Sekilas tentang Film 28 Years Later

Kisahnya dibuka di sebuah tempat terpencil: Holy Island di timur laut Inggris. Di sinilah manusia-manusia terakhir mencoba bertahan hidup dengan cara yang agak primitif. 

Mereka bertani, bikin bir sendiri, dan hidup seperti zaman batu modern yang dibalut romantisme nasionalisme kuno. 

Setiap beberapa waktu, para pria di pulau ini menyeberangi daratan yang telah terinfeksi, berburu zombi dengan panah demi membuktikan keberanian mereka. Itu bukan sekadar survival, tapi juga tentang identitas kelompok yang mulai berubah jadi kultus.

Dan dari sinilah cerita benar-benar dimulai. Spike (diperankan oleh Alfie Williams), bocah 12 tahun, punya misi pribadi, yakni menyelamatkan ibunya, Isla (Jodie Comer), yang mulai kehilangan kesadaran dan terjebak depresi misterius. 

Ayahnya, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), mencoba membimbing Spike lewat ekspedisi ke daratan. Perjalanan itu seharusnya jadi momen bonding ayah-anak, tapi malah membawa mereka ke petaka baru.

Spike kemudian mendengar kabar tentang sosok dokter yang masih hidup di tanah zombi, sosok eksentrik yang konon bisa menyembuhkan orang.

Dan di saat itulah konflik mulai meledak. Spike membawa ibunya sendiri dan nekat menembus larangan komunitas, berharap bisa menyelamatkan perempuan yang paling disayanginya. Akankah misinya berhasil? Tentu saja nggak seindah yang dipikirkan. 

Impresi Selepas Nonton Film 28 Years Later 

Buat Sobat Yoursay yang penasaran bentuk zombinya, sebenarnya masih seperti dulu, brutal dan cepat. Bedanya, sekarang ada dua jenis—yang cepat dan yang lambat. 

Yang lambat sering dijadikan latihan target para pemburu dari Holy Island, yang menganggap mereka lebih seperti hama daripada ancaman. Namun, di balik itu, film ini justru menyajikan kritik sosial tersembunyi tentang bagaimana manusia bisa jadi lebih kejam daripada monster.

Danny Boyle dan Alex Garland tampaknya nggak cuma mau menakuti penonton, tapi juga ingin mengajak buat berpikir tentang bagaimana manusia-manusia terperangkap dalam mentalitas benteng. Dalam artian: Menolak dunia luar, memuja masa lalu, dan menganggap tradisi sebagai alat kekuasaan. 

Bahkan ada momen unik di mana mereka menampilkan klip arsip Henry V karya Olivier, sebagai gambaran betapa dalamnya obsesi masyarakat itu pada kejayaan dan perlawanan terhadap dunia luar, alias "French mistrust" yang jadi metafora politik era modern.

Sayangnya memang, film ini bukan tanpa kekurangan. Perpindahan nada cerita dari satir ke aksi brutal kadang terasa janggal. Apalagi ketika dua karakter cameo yang nggak akan diriku spill di sini karena spoiler alert!

Entah mengapa, rasanya tuh, film ini kadang terlalu berambisi dan brutal, kadang terlalu lambat, kadang juga terlalu banyak simbolisme yang bikin pusing. Nggak buruk kok filmnya, ini kekurangan yang sangat bisa dimaafkan selepas melihat rentetan aksi dan kebrutalan yang selama ini sangat dinantikan penggemar. 

Kalau Sobat Yoursay datang ke bioskop untuk melihat adegan kejar-kejaran dengan zombi, kamu akan mendapatkannya. Selamat nonton ya.

Skor pribadi: 3,9/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak