Review Film F1: Aksi Balap Mendebarkan dengan Atmosfer Autentik Khas Formula 1

Hayuning Ratri Hapsari | Rosetiara Sahara
Review Film F1: Aksi Balap Mendebarkan dengan Atmosfer Autentik Khas Formula 1
F1 (IMDb)

F1: The Movie merupakan film drama olahraga yang tayang perdana di bioskop Indonesia pada 25 Juni 2025.

Disutradarai oleh Joseph Kosinski—sosok di balik kesuksesan Top Gun: Maverick dan Tron: Legacy—film ini mengangkat atmosfer dunia balap Formula 1 yang digarap serealistis mungkin.

Sinematografinya ditangani oleh Claudio Miranda, pemenang Oscar yang sebelumnya juga bekerja sama dengan Joseph Kosinski. Musik latarnya digarap oleh Hans Zimmer, komposer kenamaan yang dikenal piawai menghadirkan skor emosional sekaligus epik.

Sementara itu, naskah film ditulis oleh Ehren Kruger, penulis berpengalaman yang sebelumnya terlibat dalam berbagai proyek besar seperti Top Gun: Maverick dan beberapa film dalam waralaba Transformers.

Deretan pemainnya pun bertabur bintang, mulai dari Brad Pitt, Javier Bardem, Damson Idris, Kerry Condon, hingga Tobias Menzies.

Proses pengambilan gambar dilakukan langsung di berbagai sirkuit ikonik dunia seperti Silverstone, Monza, Suzuka, Spa-Francorchamps, Hungaroring, Zandvoort, Yas Marina, dan Las Vegas Strip, bersamaan dengan musim balapan Formula 1 tahun 2023 dan 2024. Bahkan Brad Pitt dan Damson Idris benar-benar turun ke lintasan dengan mengendarai mobil F2 yang dimodifikasi khusus.

Tak kalah menarik, film ini juga menghadirkan cameo dari seluruh pembalap F1 aktif seperti Lewis Hamilton, Lando Norris, Max Verstappen, Fernando Alonso, Charles Leclerc, hingga Carlos Sainz. 

Sinopsis

Kisahnya berpusat pada Sonny Hayes (Brad Pitt), seorang mantan pembalap F1 era 90-an yang kariernya terhenti mendadak akibat kecelakaan tragis di GP Spanyol.

Setelah lebih dari dua dekade hidup jauh dari lintasan profesional, Sonny menghabiskan waktu sebagai pembalap bayaran nomaden, berpindah-pindah dari satu ajang balap ke ajang lainnya, tanpa arah yang jelas.

Namun, kehidupan Sonny berubah ketika Ruben Cervantes (Javier Bardem), teman lama sekaligus pemilik tim APXGP yang sedang terpuruk, datang menawarkan kesempatan untuk kembali ke lintasan.

Ruben tengah menghadapi tekanan besar karena timnya tak kunjung meraih poin, dan ia percaya hanya Sonny yang bisa membawa perubahan, minimal meraih satu kemenangan dalam sembilan balapan terakhir, sebelum investor mendepaknya.

Meski ragu, Sonny akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia tidak hanya ditugaskan untuk membalap, tetapi juga menjadi mentor bagi Joshua "Noah" Pearce (Damson Idris), pembalap muda bertalenta namun egois.

Joshua dipandang sebagai masa depan tim, tetapi pengalamannya yang minim dan pendekatannya yang terlalu impulsif membuat tim kesulitan untuk bersaing.

Bersama Kate McKenna (Kerry Condon) direktur teknis tim yang cerdas dan tangguh, Sonny mulai membenahi banyak hal di dalam tim, termasuk membangun kembali semangat tim, memoles strategi, dan menanamkan disiplin yang selama ini absen di tubuh APXGP.

Kehadiran Sonny menjadi pemantik perubahan, terutama bagi Joshua yang awalnya lebih sibuk membangun citra diri ketimbang fokus pada performa di lintasan.

Review Film F1

F1: The Movie memang tidak menawarkan cerita yang benar-benar baru—kisah tentang seorang veteran yang kembali dari masa pensiun untuk menebus masa lalu dan membimbing generasi baru adalah trope yang sangat familiar di genre olahraga.

Tapi Joseph Kosinski, seperti halnya dalam Top Gun: Maverick, membuktikan bahwa eksekusi yang tepat bisa menghidupkan kembali formula usang menjadi tontonan yang terasa segar, penuh energi dan sangat menghibur.

Dari sisi teknis, film ini benar-benar mengagumkan. Joseph Kosinski tampaknya tahu betul bagaimana cara mengekstraksi ketegangan dari balapan mobil menjadi pengalaman sinematik yang imersif dan mendebarkan.

Pengambilan gambar dari titik pandang dalam kokpit, membuat penonton seolah ikut melaju bersama para pembalap, merasakan sendiri G-force, guncangan, hingga kebisingan brutal mesin F1 yang menggetarkan dada.

Claudio Miranda, sinematografer langganan Joseph Kosinski, turut berperan besar dalam pencapaian visual ini. Adegan balap direkam langsung di sirkuit Grand Prix sungguhan, lengkap dengan akses langsung ke paddock berkat kontribusi Lewis Hamilton sebagai produser dan penasihat teknis. Bahkan beberapa momen diambil saat gelaran resmi berlangsung, membuat atmosfer yang tersaji terasa begitu autentik

Tak ketinggalan, skoring dari Hans Zimmer turut melengkapi atmosfer megah film ini. Komposisi musik elektronik yang menggelegar berpadu apik dengan  orkestra dramatis, menghasilkan ritme emosional yang konstan. Bahkan saat tidak ada adegan balapan, ketegangan tetap terasa karena skoring Hans tidak pernah benar-benar memberi jeda. 

Sayangnya, kehebatan teknis ini tidak sepenuhnya didukung oleh kekuatan naratif.

Seperti yang saya singgung sebelumnya, kisah tentang Sonny Hayes yang kembali ke lintasan demi menyelamatkan tim kecil bernama APXGP terasa familiar dan terlalu nyaman dalam formula “comeback hero”.

Konflik generasi, intrik dalam tim, dan masa lalu sang tokoh utama menjadi fondasi cerita, tetapi semuanya terasa terlalu dangkal dan terkadang hanya bersifat fungsional.

Brad Pitt tampil solid sebagai Sonny Hayes. Karismanya tetap memikat meski usianya telah melampaui tipikal pembalap aktif. Ia menjadi pusat gravitasi dalam cerita, menampilkan sisi maskulin yang kuat namun tetap menyisakan ruang untuk luka emosional yang belum pulih. Sayangnya, naskah tidak benar-benar memberi ruang bagi karakter ini untuk berkembang lebih dalam.

Relasinya dengan Joshua Pearce, sang pembalap muda, terasa lebih seperti alat penggerak plot ketimbang sebuah ikatan emosional yang menyentuh. Ada upaya untuk menciptakan konflik antara pembalap old school dan digital native, tapi eksplorasinya terasa setengah matang dan tidak pernah benar-benar menggigit.

Damson Idris juga tampil menjanjikan sebagai Joshua Pearce, tapi lagi-lagi karakternya tidak diberi cukup ruang untuk berkembang.

Hal yang sama berlaku pada karakter Kate McKenna—direktur teknis tim APXGP yang diperankan Kerry Condon. Peran ini sejatinya bisa menjadi penyeimbang emosional dalam tim yang didominasi karakter laki-laki, namun subplot yang melibatkan dirinya, termasuk relasinya dengan Sonny, terasa tergesa dan kurang tergarap maksimal.

Durasi film yang mencapai 156 menit terasa sedikit terlalu panjang. Paruh tengah mengalami penurunan tensi, dengan alur yang cenderung stagnan sebelum bangkit kembali di bagian klimaks.

Meski pacing-nya tidak terlalu mengganggu keseluruhan pengalaman menonton, tetap terasa ada ruang yang bisa dimanfaatkan lebih baik untuk memperdalam karakter maupun memperkuat emosi.

Tetapi, justru kesederhanaan naratif inilah yang membuat F1 tetap bisa diakses oleh penonton awam. Tidak perlu menjadi penggemar Formula 1 untuk bisa menikmati film ini. F1 tahu betul siapa target penontonnya dan menyajikan pengalaman sinematik yang sesuai ekspektasi—grandiose, seru, dan penuh gairah.

Buat saya yang bahkan tidak begitu paham dunia F1, film ini tetap bisa dinikmati karena atmosfer dan teknisnya begitu menggugah.

Bagi penonton yang menginginkan narasi yang lebih tajam atau karakter yang lebih menggugah secara emosional, film ini mungkin terasa kurang memuaskan.

Namun jika kamu mencari tontonan yang mendebarkan, megah, dan sangat sinematik—F1 jelas merupakan pilihan yang tidak boleh dilewatkan. Film ini sangat cocok disaksikan di layar lebar, khususnya IMAX—agar semua kelebihan teknisnya bisa dirasakan sepenuhnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak