I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki 2 merupakan lanjutan dari buku pertamanya yang masih berfokus pada sesi-sesi konsultasi antara Baek Sehee dengan psikiaternya.
Tema yang diangkat hampir sama, yaitu Baek Sehee yang sedang berkelahi dengan masalah batinnya. Banyak cerita yang diambil mulai dari depresi, rasa cemas, hingga hubungan yang sering tak berjalan sesuai harapan.
Semua hal yang diam-diam mungkin juga dirasakan banyak orang, namun jarang benar-benar dibicarakan.
Ulasan buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki 2
Yang membuat buku ini terasa berbeda dari sebelumnya adalah bagaimana setiap bab kini lebih terfokus pada tema-tema spesifik yang akrab dalam keseharian kita.
Melalui konsultasi Baek Sehee dengan psikiaternya, ia menunjukkan bahwa pikiran negatif sangat mempengaruhi kehidupan jika dibiarkan tinggal terlalu lama. Sebuah pengingat halus bahwa ada banyak luka yang tak selalu tampak di permukaan.
Salah satu pesan penting yang ingin disampaikan buku ini adalah bahwa penyembuhan diri butuh waktu.
Baek Sehee menyampaikan dengan jujur bahwa dalam proses penyembuhan, terkadang seseorang bisa merasa lebih buruk di tengah jalan. Dan itu merupakan bagian dari proses.
Buku ini mengajarkan bahwa tidak apa-apa jika suatu hari kamu merasa lelah, sedih, atau ingin menyerah, asalkan kamu tetap mencoba bertahan dan melanjutkan perjalanan itu esok harinya.
I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki 2 dibagi menjadi beberapa topik yang relevan seperti citra tubuh, standar kecantikan, ekspektasi gender, hingga perasaan untuk selalu menyenangkan orang lain.
Meskipun isu-isu yang dibahas cukup berat, namun untuk gaya penulisannya tetap terasa santai dan penuh empati. Penulis dengan cerdas membuat agar buku ini tetap terasa menenangkan untuk dibaca.
Kejujuran Baek Sehee dalam mengungkapkan isi kepalanya yang kacau membuat buku ini terasa sangat manusiawi dan relatable.
Buku ini bisa dibaca oleh semua orang meskipun tidak dalam masalah kesehatan mental. Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa diambil, misalnya dari memahami sendiri ataupun orang lain.
Hal lain yang membuat buku ini istimewa adalah bagaimana Baek Sehee mengangkat tema standar kecantikan yang tidak realistis, gangguan pola makan, hingga kebiasaan menilai diri sendiri dari sudut pandang orang lain.
Ia menceritakan bagaimana dirinya terbiasa menyesuaikan perilaku hanya demi menyenangkan orang lain, yang akhirnya justru menyabotase dirinya sendiri.
Selain itu, ada juga masalah lain yang diambil dalam kisah buku ini, misalnya tentang ekspektasi yang membentuk pandangan kita terhadap diri sendiri.
Lebih dari sekadar buku tentang kesehatan mental, I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki 2 adalah pengingat bahwa setiap orang sedang berjuang dengan caranya masing-masing.
Buku ini tentang kita dan segala cara yang kita lakukan untuk berjuang, bertahan dalam segala kondisi kekacauan batin.
Baek Sehee berhasil merangkai kata-kata yang seolah memeluk pembaca, membuat mereka merasa didengar, dan menyampaikan bahwa tidak apa-apa untuk merasa rapuh.
Secara keseluruhan, buku ini adalah bacaan reflektif yang hangat, jujur, dan menyentuh. Cocok untuk siapa saja yang sedang mencari teman di masa-masa sulit, atau sekadar ingin memahami dunia kesehatan mental dari sudut pandang yang lebih dekat dan personal.
Saya merekomendasikan buku ini untuk siapa pun yang ingin belajar lebih banyak tentang diri sendiri, tentang luka batin, dan tentang bagaimana pelan-pelan bisa berdamai dengan semua itu.