Sampah rumah tangga mengacu pada sampah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari rumah tangga dan sering disebut sampah. Sampah ini dapat berupa sisa makanan, bahan kemasan, kertas, plastik, kaca, logam, dan bahan lainnya.
Jika sampah dari rumah, apartemen, dan tempat serupa ini tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, kerusakan sumber daya tanah dan air, polusi udara, dan masalah kesehatan.
Sampah rumah tangga masih mendominasi komposisi sampah nasional pada 2024. Menurut data Sistem Informasi pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan sekitar 33,79 juta ton timbulan sampah sepanjang 2024. Volume tersebut turun 21,83% dibanding tahun 2023 yang bahkan mencapai 43,23 juta ton sampah, tertinggi selama 6 tahun terakhir.
Besarnya angka tersebut ditambah masalah dimana sebagian besar masih berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa melalui proses pemilahan, pengolahan, atau daur ulang yang memadai. Masalah ini kemudian berlapis: mulai dari pencemaran, bau tak sedap, hingga menurunnya kualitas lingkungan.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait pengelolaan sampah. Beberapa aturan persampahan telah diberlakukan untuk kurangi timbulan sampah dan mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih sehat dan berkelanjutan, mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) hingga Peraturan Daerah (Perda).
Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala: kesadaran masyarakat yang rendah, keterbatasan infrastruktur, serta minimnya dukungan konsisten dari pemerintah daerah.
Beban TPA dan Dampaknya
Tidak berusaha untuk menyalahkan pemerintah yang sudah memberi regulasi, namun fakta di lapangan banyak TPA di berbagai daerah sudah kewalahan menampung sampah.
Tumpukan sampah yang menggunung menimbulkan potensi longsor, kebakaran, hingga pencemaran air tanah akibat lindi (cairan hasil pembusukan sampah).
Selain hal tersebut, emisi gas metana dari sampah organik juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sungai dan laut pun ikut tercemar oleh plastik sekali pakai yang sulit terurai. Akibatnya, ekosistem terganggu, satwa mati karena menelan sampah plastik, dan rantai makanan manusia pun terancam.
Sudah merusak lingkungan, begitupula dalam sector kesehatan. Dampak sampah rumah tangga tidak hanya sebatas pada lingkungan, tapi juga kesehatan kita semua. TPA yang tidak terkelola dengan baik menjadi sarang nyamuk, tikus, hingga lalat yang membawa penyakit menular.
Masyarakat yang tinggal di sekitar TPA sering mengalami gangguan pernapasan, iritasi kulit, hingga risiko penyakit kronis akibat polusi udara dan air.
Secara keseluruhan jika ini berkelanjutan, Sampah rumah tangga yang dapat diatasi akan mengandung zat yang berpotensi membahayakan alam atau lingkungan. Limbah kimia berbahaya merupakan contoh limbah rumah tangga yang tidak dapat didaur ulang.
Limbah ini mengandung zat beracun, asam, pupuk kimia, dan zat serupa, dan dapat menjadi bahaya serius bagi lingkungan jika tidak ditangani. Limbah medis juga termasuk limbah rumah tangga yang tidak dapat didaur ulang. Barang-barang seperti perlengkapan medis yang terinfeksi atau residu obat-obatan memerlukan pembuangan khusus.
Apa yang harus kita lakukan?
Bagi penulis, usaha untuk mengelola sampah rumah tangga bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga individu (perseorangan).
Langkah sederhana yang bisa dimulai adalah dari memilah sampah organik dan anorganik di rumah. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos, sementara sampah anorganik bisa didaur ulang atau disalurkan ke bank sampah.
Gerakan reduce, reuse, recycle (3R) perlu ditanamkan dalam keseharian, misalnya membawa tas belanja sendiri, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan memperbaiki barang sebelum membuangnya.
Pemerintah pun juga perlu untuk memperkuat sistem pengelolaan terpadu, memperbanyak fasilitas daur ulang, dan mendorong inovasi ekonomi sirkular agar sampah tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sumber daya.
Suara Kita
Mengelola sampah rumah tangga adalah bentuk nyata cinta kita pada bumi. Setiap langkah kecil, seperti memilah sampah atau mengurangi plastik, akan berdampak besar jika dilakukan bersama-sama.
Kita tidak bisa menunggu kebijakan sempurna, sebab perubahan bisa dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Jika ingin masa depan yang lestari, kita harus berhenti memandang sampah sebagai sesuatu yang "hilang begitu saja" setelah dibuang. Suara kita penting untuk mendorong gerakan kolektif, agar pengelolaan sampah menjadi budaya, bukan sekadar kewajiban.