Kisah Affandi Koesoema, Dari Poster Film Menjadi Maestro Lukis

Hernawan | Ancilla Nugraha
Kisah Affandi Koesoema, Dari Poster Film Menjadi Maestro Lukis
Kisah Affandi Koesoema (Dokumen pribadi/Ancilla)

Di balik megahnya Museum Affandi, terselip kisah kehidupan yang menggambarkan pria dengan kesederhanaannya. Berawal dari sisa cat poster film, Affandi menorehkan jejaknya hingga menjadi maestro seni lukis Indonesia. 

Affandi Koesoema merupakan salah satu pelukis asal Indonesia yang terkenal dengan gaya lukis ekspresionisme. Melalui Dedi Sutama (63), supir pribadi Kartika Affandi (Putri dari Affandi Koesoema) sekaligus pemandu wisata museum Affandi, membingkai kehidupan sang Maestro sejak 1907.

Affandi lahir di Cirebon pada tahun 1907. Namun, Affandi sendiri mengungkapkan bahwa ia tidak pernah tahu tanggal dan bulan lahirnya secara spesifik. Saat itu ia hanya menempuh pendidikan hingga ke jenjang SMA, tepatnya kelas dua SMA saja. Ia memutuskan untuk berhenti sekolah, karena merasa bahwa sekolah tak bisa memenuhi naluri seninya. 

Kilas balik ke masa penjajahan Jepang, ternyata Affandi pernah menjadi salah satu pelukis poster perjuangan. Saat itu, Bung Karno meminta Sujoyono untuk membuat poster perjuangan. Namun, Sujoyono meminta Affandi untuk membuat poster perjuangan tersebut. Setelah melakukan diskusi dengan Chairil Anwar, poster perjuangan ini dinamakan “Boeng, Ajo Boeng”. 

Beralih ketika saudara-saudara Affandi menjadi insinyur, Affandi memutuskan untuk menjadi pelukis. Ia memulai karyanya secara otodidak dan mempelajari lukisan anatomi. Saat itu yang menjadi model lukisannya hanyalah keluarganya saja. Dedi mengungkapkan bahwa Affandi tidak memiliki biaya yang cukup untuk membayar model. “Untuk makan pun sulit,” ujarnya. 

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, ia saat itu bekerja sebagai pelukis poster bioskop. Dalam waktu seminggu, ia membagi waktunya untuk belajar dan mencari nafkah. “4 hari bekerja jadi pelukis poster bioskop, 3 harinya untuk belajar,” ungkap Dedi. Hal ini dilakukannya karena saat itu lukisannya belum laku untuk dijual. 

Saat itu, Affandi belajar melukis dengan menggunakan cat bekas dari poster film. Karena terkendala biaya, ia mengumpulkan sisa cat dari poster bioskop. Hingga digunakan untuk belajar melukis anatomi ibu, istri, dan anaknya. 

Beralih dari Cirebon, Affandi mulai melanjutkan karirnya di Jakarta, spesifiknya di daerah Cikini. Ia mulai berkarya dan kembali berpindah ke Bali. Pada tahun 1941-1942 karya Affandi mulai dikenal oleh para kolektor lukisan. Beberapa kolektor sangat menghargai hasil karya Affandi karena beliau tidak menargetkan harga lukisannya. “Yang penting lukisannya laku, tidak mematok harga,” beber Dedi. 

Bahkan hingga saat ini, beberapa kolektor lukisan membuka galeri yang memamerkan karya Affandi. Salah satunya adalah Neka Art Gallery yang terletak di Bali dan memiliki karya lukisan Affandi. Dedi mengungkapkan bahwa galeri tersebut dimiliki oleh Neka, salah satu kolektor yang mengoleksi karya Affandi semenjak tahun 1941 di Bali. 

Namun, saat di Bali istrinya mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan disana. Affandi memutuskan untuk berpindah ke Surabaya, karena saat itu Surabaya memiliki alat dan dokter yang lebih komplit. Semenjak istrinya mulai pulih, ia memutuskan untuk menitipkan istrinya kepada kakaknya di Bandung. Hingga saat itu, Affandi kembali ke Bali untuk melanjutkan karirnya sebagai pelukis. 

Lompat ke tahun 1955, Affandi menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang menjadi cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI). Hal inilah yang membuat Affandi menetap di Yogyakarta. Pada tahun 1962, Affandi membangun rumahnya yang sekarang menjadi museum. Hingga pada tahun 1973, diresmikan oleh Ida Bagus Mantra. 

Kembali ke tahun 1949, Affandi belajar melukis di India selama tiga tahun. Saat itu, Affandi tidak naik kapal penumpang karena tidak memiliki biaya yang cukup. Dedi mengatakan bahwa Affandi menaiki kapal barang atau kapal kargo untuk pergi ke India. “Kalau panas ya kepanasan, kalau hujan ya kehujanan kata Pak Affandi kala itu,” beber Dedi. Pada saat itu, Affandi mendapatkan beasiswa dari pemerintah India. 

Semenjak saat itu, Affandi kembali melanjutkan karirnya ke Eropa. Ia tidak kembali ke Indonesia, melainkan kembali mengembara ke Eropa untuk belajar. Hingga pada tahun 1952, aliran atau gaya lukisan Affandi berubah menjadi ekspresionisme. “Awalnya naturalis, tapi semenjak dari Eropa jadi ekspresionisme,” ungkapnya. 

Perubahan gaya lukisan ini dilakukan karena naturalis membutuhkan proses yang panjang. Dedi mengatakan bahwa aliran naturalis membutuhkan waktu hingga berminggu-minggu, sedangkan ekspresionisme hanya hitungan jam. Selain itu, Affandi juga merasa lebih nyaman saat melukis dengan aliran ekspresionisme. 

Perjalanannya menuju India dan Eropa membuatnya menjadi batu loncatan sebagai maestro lukis yang dikenal oleh banyak orang. Saat ia di Eropa, lukisannya pernah ditawar hingga 1 miliar dollar. Hal ini membuatnya menjadi banyak menghasilkan pendapatan, sehingga bisa membeli kanvas dan cat yang lebih mahal dan berkualitas. 

Hingga pada tahun 1989, Affandi melukis karya terakhirnya yang berjudul “Embryo”. Saat itu, Affandi telah terkena stroke dan wafat pada 23 Mei 1990. Dedi mengungkapkan bahwa Affandi ingin meninggal dengan dikelilingi karyanya. Maka dari itu, Affandi dimakamkan di rumahnya yang menjadi museum hingga saat ini. 

Affandi membangun museum ini agar karyanya dapat dinikmati oleh anak, cucu, buyut dan masyarakat Indonesia. Dedi mengatakan bahwa Affandi memuseumkan karyanya agar dapat dikenang oleh masyarakat. Hingga pada saat ini, Affandi menitipkan pesannya agar karyanya tidak boleh dijual lagi. 

Amanat ini tentunya masih diberlakukan hingga sekarang. Affandi ingin karyanya selalu dipajang dan dikenang di museumnya. Dedi ungkapkan bahwa beberapa karya Affandi masih belum dimiliki oleh museum ini. Karena pada saat itu, karya tersebut telah dijual oleh Affandi. Karya tersebut seperti lukisan sabung ayam, leak, jatayu, Prambanan, dan lain-lainnya. 

Srimaryati (45), salah seorang penjaga kantin Museum Affandi, mengungkapkan bahwa setelah melihat karyanya, Affandi memiliki kepribadian yang punya jiwa bebas. Terlihat dari goresan dan gaya lukisannya yang ekspresif. Ia juga berpendapat bahwa Affandi memiliki sifat yang idealis dan punya tekad yang kuat. 

Selain itu, Srimaryati juga ungkapkan bahwa Affandi memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Hal ini terlihat saat Affandi membantu seniman lainnya saat mereka sedang terkendala ekonomi. Ujarnya, Affandi juga memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama pelukis. 

Srimaryati mengatakan bahwa perjalanan hidup Affandi merupakan suatu hal yang menyentuh. Perjuangan keras hidup Affandi dari dulu hingga sekarang dikenal sebagai maestro berbuah manis. “Kisah hidupnya mengharukan dan menggugah semangat hidup saya,” ujarnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak