Review Film Pernikahan Arwah: Horor Tionghoa dengan Plot Menegangkan!

Sekar Anindyah Lamase | Ryan Farizzal
Review Film Pernikahan Arwah: Horor Tionghoa dengan Plot Menegangkan!
Salah satu adegan di film Pernikahan Arwah (IMDb)

Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) yang rilis di bioskop pada 27 Februari 2025 dan kini tayang di Netflix sejak 3 Juli 2025, bikin aku penasaran dengan perpaduan horor dan tradisi Tionghoa yang jarang disentuh di perfilman Indonesia.

Disutradarai Paul Agusta, film ini mengangkat ritual Minghun alias pernikahan arwah, sebuah tradisi kuno untuk menenangkan jiwa yang meninggal sebelum menikah. Dengan Morgan Oey dan Zulfa Maharani sebagai pemeran utama, film ini janjiin pengalaman horor yang nggak cuma seram, tapi juga sarat makna budaya. Tapi, apakah film ini beneran memenuhi ekspektasi? Yuk, simak ulasan berikut!

Cerita Pernikahan Arwah berpusat pada Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani), pasangan yang lagi excited nyiapin pernikahan mereka. Setelah acara sangjit (tunangan ala Tionghoa), mereka berencana foto pre-wedding di luar negeri. Tapi, rencana berubah drastis saat bibi Salim, satu-satunya keluarga sedarahnya, meninggal dunia. Salim pun memutuskan untuk foto pre-wedding di rumah leluhur di Lasem, Jawa Tengah, yang terkenal dengan budaya peranakan Tionghoa-nya.

Di sinilah horor dimulai. Rumah tua itu ternyata menyimpan rahasia kelam, termasuk arwah leluhur Salim yang tewas tragis saat pendudukan Jepang. Tasya, yang awalnya cuma pengin mendukung calon suaminya, malah terjebak dalam teror supranatural dan memilih menguak misteri biar arwah-arwah itu tenang.

Review Film Pernikahan Arwah

Salah satu adegan di film Pernikahan Arwah (IMDb)
Salah satu adegan di film Pernikahan Arwah (IMDb)

Dari segi visual, film ini bener-bener juara. Rumah tua di Lasem yang jadi setting utama punya vibe megah sekaligus creepy, dengan dinding kusam, tangga kayu berderit, dan ornamen Tionghoa yang kental. Detail seperti hio (dupa), altar leluhur, dan simbol kupu-kupu (yang jadi judul internasional film ini) bikin atmosfer makin hidup. Kupu-kupu, yang dalam budaya Tionghoa melambangkan jiwa, cinta, atau reinkarnasi, muncul di momen-momen krusial dan memberikan makna mendalam. Sinematografinya juga patut diacungi jempol, dengan warna merah dan emas yang dominan, plus pencahayaan yang nggak terlalu gelap, bikin horornya terasa elegan, bukan cuma ngandalin jump scare.

Akting para pemain juga nggak kalah solid. Morgan Oey sebagai Salim berhasil nunjukin konflik batin antara kewajiban keluarga dan cinta pada Tasya. Zulfa Maharani sebagai Tasya benar-benar mencuri perhatian dengan karakternya yang pemberani dan penasaran, nggak cuma jadi damsel in distress. Brigitta Cynthia sebagai Mei Hwa, arwah pengantin yang tragis, bikin aku ikutan ngerasain kesedihan dan amarahnya. Jourdy Pranata sebagai Febri, fotografer yang skeptis, nambahin dinamika dengan cinta segitiga yang bikin cerita makin kompleks, meski kadang agak distracting.

Tapi, film ini nggak luput dari kekurangan. Salah satu masalah utamanya adalah pacing yang lambat. Dengan durasi 101 menit, beberapa bagian terasa draggy, apalagi di tengah cerita yang kurang banyak kejadian seru. Bagi yang suka horor intens dengan jump scare bertubi-tubi, mungkin bakal kecewa karena film ini lebih fokus ke atmosfer dan emosi ketimbang bikin jantungan. Misteri pernikahan arwah yang jadi inti cerita juga terasa kurang dieksplor mendalam. Tradisi Minghun yang unik itu cuma dipakai sebagai pemicu konflik, tapi nggak dikupas detail, padahal bisa jadi nilai jual yang kuat. Ending-nya pun agak menggantung, bikin aku bertanya-tanya tanpa jawaban jelas, meski ini mungkin sengaja buat memberi ruang interpretasi.

Dari sisi budaya, Pernikahan Arwah patut diapresiasi karena berani mengangkat tradisi Tionghoa yang jarang dibahas. Tim produksi, termasuk Paul Agusta, melakukan riset mendalam biar nggak ada unsur yang salah atau menyinggung. Lokasi syuting di Lasem juga nambahin autentisitas, apalagi kota ini punya sejarah panjang budaya peranakan. Film ini juga berhasil menyampaikan pesan tentang hubungan antargenerasi, penyesalan, dan cinta yang nggak tersampaikan, bikin aku nggak cuma takut, tapi juga terenyuh.

Secara keseluruhan, Pernikahan Arwah adalah film horor yang segar dan beda dari kebanyakan horor lokal yang sering ngandalin setan Jawa atau pocong. Kekuatannya ada di visual yang memanjakan mata, akting yang kuat, dan nuansa budaya Tionghoa yang kental. Tapi, pacing yang lambat dan eksplorasi tradisi yang kurang maksimal bikin film ini nggak sepenuhnya memenuhi potensinya. Buat kamu yang suka horor dengan cerita mendalam dan nggak cuma tentang bikin kaget, film ini wajib masuk watchlist dong pastinya! Tapi, kalau kamu cari horor yang intens dan cepat, mungkin bakal kurang sreg sih.

Rating dari aku: 7/10. Pernikahan Arwah adalah perpaduan horor dan budaya yang bikin penasaran, meski nggak selalu bikin jantungan. Tonton di Netflix, siap-siap buat merinding sambil mikir makna kupu-kupu di hidupmu!

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak