Setiap orang barangkali pernah atau akan merasakan episode patah hati dalam hidupnya. Ketika berada dalam situasi seperti ini, tentu seseorang akan merasa begitu terpuruk. Terkadang butuh waktu yang lama untuk pulih.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memulihkan luka dan menata pikiran karena patah hati adalah dengan membaca buku yang menenangkan.
Adapun bacaan yang mencakup hal tersebut adalah buku berjudul 'Ketika Cinta Harus Pergi' karya Elita Duatnofa.
Sebagaimana judulnya, buku ini membahas tentang kiat untuk mengatasi sebuah perpisahan dalam sudut pandangan Islam.
Di dalamnya, penulis menjelaskan langkah yang bisa dilakukan saat kita ingin move-on dari seseorang yang dicintai.
Hal tersebut dibahas dalam 11 bab. Pertama tentang alasan mengapa perpisahan harus terjadi. Sekilas, melontarkan pertanyaan seperti ini barangkali terdengar sia-sia.
Sebab, ketika berbicara tentang alasan terjadinya sesuatu, tentu kita tidak bisa lepas dari ketentuan takdir. Jadi, mengapa harus bertanya lagi tentang alasannya?
Tetapi bagi sebagian orang yang sudah pernah merasakan hal tersebut, mereka terkadang masih diliputi pertanyaan, "mengapa harus berpisah secepat ini? Atau "why it happened to me?"
Di antara beberapa jenis perpisahan yang sering dialami orang-orang adalah perpisahan karena kematian, perselingkuhan, perbedaan prinsip dan karakter yang mencolok, perbedaan agama, hingga pertentangan keluarga.
Misalnya pada sepasang suami istri. Semua pasangan di dunia ini akan menghadapi perpisahan, jika bukan karena perceraian karena beberapa konflik di atas, maka perpisahan itu akan terjadi karena kematian salah seorang di antaranya. Cepat atau lambat.
Jadi, pertanyaan "why me?", atau kenapa hal itu menimpa saya adalah sesuatu yang sebenarnya akan dihadapi semua orang. Entah kita akan menjadi sosok yang ditinggalkan atau yang meninggalkan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa bagian yang bikin seseorang paling susah buat move on adalah ketika ia menghadapi perpisahan karena kematian.
Dalam buku ini, penulis memberi gambaran tentang bagaimana agama Islam memberi tuntunan akan hal tersebut.
Contohnya saat Nabi Muhammad menghadapi banyak masa berduka dalam hidupnya. Mulai dari meninggalnya istri hingga anak-anak yang dicintainya.
Tapi dengan kecerdasan emosional yang tinggi, beliau mampu menghadapi ujian yang besar tersebut.
Kemudian pada bab selanjutnya membahas tentang alasan mengapa Allah menakdirkan perpisahan di dalam kehidupan kita. Ada banyak alasan di balik ini. Yang pasti, Allah tentu tidak akan membebani ujian di luar kesanggupan hamba-Nya.
Boleh jadi, Dia mengambil sesuatu yang kita cintai untuk kemudian menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Dan sebagai Yang Maha Pencipta, Allah tahu bahwa Dia membebankan ujian kepada makhluk yang telah Dia beri kesanggupan untuk memikul ujian-Nya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis kemudian memberikan beberapa tips yang bisa kita praktikkan untuk menghadapi ujian perpisahan. Satu metode healing cukup berkesan bagi saya adalah anjuran untuk menulis.
Barangkali kita cukup familiar tentang manfaat menulis, seperti journaling, menulis blog, atau sekadar menulis di buku harian untuk memvalidasi emosi.
Ternyata beberapa ayat dalam Al-Quran beberapa kali menyinggung tentang hal ini sebagaimana yang tertera dalam Surah Al-Qalam dan Al-Alaq.
Jadi, tidak ada salahnya kita memanfaatkan beberapa media sebagai terapi menulis untuk melupakan emosi. Sebab, hal ini telah terbukti tidak hanya secara ilmiah, tetapi juga telah termaktub dalam ajaran agama.
Secara umum, buku ini cukup insightful. Hanya saja, pembahasan yang kebanyakan berisi anjuran self-healing dalam sudut pandang Islam barangkali hanya relate bagi para pembaca muslim.
Jadi, bagi yang mencari referensi Islami tentang cara memulihkan diri dari perasaan duka karena ditinggalkan orang yang dicintai, buku ini bisa menjadi bacaan yang menarik untuk disimak!