Empati bukan sesuatu hal yang bisa tiba-tiba muncul begitu saja. Empati bisa hadir karena tumbuh, dilatih, dan diasah. Salah satu cara paling alami dan mendalam untuk melatih empati adalah melalui aktivitas membaca buku.
Terutama membaca buku-buku yang mengajak kita masuk ke dalam kehidupan orang lain, menyelami konflik batin, merasakan kegundahan, ketakutan, harapan, dan mimpi yang bukan milik kita, namun seakan-akan kita yang mengalaminya.
Buku, khususnya karya fiksi, bisa memberi kita kesempatan untuk masuk ke dalam hidup orang lain. Kita bisa menjadi seseorang yang mengalami diskriminasi, seorang ibu tunggal yang tengah berjuang, hingga seorang pengemis yang berusaha mencari nafkah.
Dalam setiap cerita yang kita baca melalui buku atau novel, kita tidak hanya menjadi penonton atau pembaca semata, tapi seperti ikut merasakan denyut kehidupan tokoh yang ada di dalamnya.
Melalui buku-buku seperti fiksi yang memiliki cerita kehidupan yang kompleks, kita jadi lebih mampu membayangkan bagaimana orang lain berpikir dan merasakan, bahkan jika pengalaman hidup mereka sangat jauh dari pengalaman kita sendiri.
Hal ini akan sangat berbeda ketika kita membaca dari berita atau laporan singkat, buku memberi ruang lebih dalam untuk kita bisa memahami kondisi seseorang.
Di dalam novel, kita tidak hanya tahu bahwa seorang tokoh sedang marah atau sedih, tapi kita tahu mengapa, sejak kapan, dan bagaimana emosi itu berkembang.
Banyak di antara kita yang hanya pandai menilai orang lain hanya karena sebuah penilaian tertentu atau label tertentu yang diberikan kepada seseorang.
Padahal narasi-narasi tersebut belum tentu sepenuhnya benar dan negatif. Kadangkala orang tidak paham dengan alur kehidupan yang menyebabkan seseorang terjatuh begitu dalam.
Maka dari itu, dengan membaca, kita tidak akan serta merta menilai seseorang bahwa yang dilakukannya adalah buruk, tapi pemahaman kita akan dibentuk bahwa kenapa seseorang bisa seperti itu.
Secara tidak langsung empati kita akan mulai tumbuh sehingga kita akan paham bahwa sebenarnya hidup itu sangat luas bahkan cerita hidup seseorang bisa jadi lebih buruk dari pada cerita hidup kita. Dan dari sana kita belajar untuk lebih menghargai.
Kita diajak menelusuri perasaan mereka, dan tanpa sadar, kita belajar untuk tidak menghakimi terlalu cepat. Di sinilah empati kita mulai berkembang, melalui pemahaman yang pelan dan mendalam lewat cerita yang kita baca.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kemampuan berempati menjadi sangat penting. Membaca buku bisa menjadi penawar dari sikap serba cepat menilai.
Membaca buku juga sekaligus membuka cakrawala pengetahuan bahwa tidak semua orang berpikir dan hidup seperti kita. Ketika kita memahami keberagaman lewat cerita, kita tidak hanya jadi pembaca yang baik, tapi juga manusia yang lebih pengertian.
Buku juga memungkinkan kita untuk bertemu dengan luka yang tidak kita alami sendiri. Kita membaca tentang trauma, kehilangan, kemiskinan, dan perjuangan dari sudut pandang orang pertama.
Ini bukan hanya informasi, tapi pengalaman batin yang mungkin jarang kita dapatkan. Dan pengalaman inilah yang perlahan menumbuhkan kepedulian dalam diri kita, bahkan kepada mereka yang belum pernah kita temui.
Maka tak heran jika banyak pembaca mengatakan bahwa mereka menjadi lebih berempati atau paham setelah membaca buku tertentu.
Karena membaca bukan sekadar mengisi kepala, tapi juga membentuk hati. Buku mengasah empati bukan dengan ceramah, tapi dengan pengalaman pelik tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.
Dan bukankah dunia yang lebih pengertian dimulai dari manusia yang bersedia mendengarkan cerita, meski hanya lewat halaman?