Novel The Cat Who Saved the Library: Mencari Jejak Buku yang Hilang

Ayu Nabila | Ardina Praf
Novel The Cat Who Saved the Library: Mencari Jejak Buku yang Hilang
Buku The Cat Who Saved the Library (goodreads.com)

Setelah sukses dengan The Cat Who Saved Books, Ssuke Natsukawa kembali menghadirkan kehangatan, keajaiban, dan cinta terhadap buku dalam sekuelnya yang berjudul The Cat Who Saved the Library.

Sekuel ini masih mengambil tema magis, sama seperti buku sebelumnya. Namun kali ini ceritanya lebih menarik.

The Cat Who Saaved Books bercerita tentang Nanami, seorang siswi SMP yang memiliki asmanya sendiri dan kecintaan mendalam terhadap dunia buku.

Sejak halaman-halaman awal, pembaca akan disambut oleh atmosfer damai dan akrab yang hanya bisa ditemukan di perpustakaan tua yang menyimpan ratusan kisah dari seluruh penjuru dunia.

Dari The Three Musketeers hingga Arsène Lupin, rak demi rak penuh dengan janji akan petualangan, kebijaksanaan, dan pelarian dari dunia nyata.

Nanami, yang menghabiskan banyak waktunya di tempat ini, merasa nyaman di tengah deretan buku yang seolah menjadi teman dalam kesehariannya. Namun, ketenangan itu terusik ketika ia melihat ada beberapa buku di perpustakaan yang mulai hilang.

Ia pun tidak tahu kemana buku itu pergi, padahal tidak ada yang meminjam, ia pun tidak memindahkan. Tiba-tiba hilang saja.

Pertemuan Nanami dengan seekor kucing belang bernama Tiger menjadi awal kisah ini dimulai. Kucing ini bukan kucing biasa, ia bisa berbicara, dan lebih dari itu, ia menjadi penuntun dalam petualangan penuh teka-teki dan makna yang tersembunyi di balik rak-rak perpustakaan.

Ketika cahaya kebiruan misterius muncul di koridor tersembunyi, Nanami mengikuti Tiger dan memulai perjalanan yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Misinya: merebut kembali buku-buku yang dicuri oleh sosok gelap bernama The Grey King.

Jika dalam buku pertama perjalanan Rintaro dipenuhi oleh berbagai pertemuan simbolis, maka kali ini cerita terasa lebih terarah dengan konflik utama yang jelas.

Fokus narasinya tertuju pada hubungan antara Nanami dan sosok antagonis, The Grey King, yang membentuk inti dari keseluruhan cerita.

Sang antagonis bukan sekadar penghalang cerita, ia hadir dengan filosofi yang mengganggu, bahwa buku adalah kelemahan, bahwa empati dan kasih sayang membuat manusia rapuh, dan bahwa dunia modern menuntut kekuatan tanpa kompromi.

Di sinilah kekuatan utama buku ini terletak. Natsukawa mengajak pembaca untuk merenungkan kembali berbagai pertanyaan di tengah dunia yang terus bergerak cepat ini.

Apakah kita masih memiliki empati? Apakah kita percaya buku bisa merubah cara pandang kita ke orang lain?

Lewat percakapan yang halus namun penuh makna, buku ini kembali mengingatkan kita bahwa karya sastra bukan hanya bentuk hiburan, melainkan cermin yang membuka ruang bagi jiwa untuk memahami dan merasakan lebih dalam.

Meski kisah ini dapat berdiri sendiri, pengalaman membaca akan jauh lebih utuh jika dimulai dari buku pertamanya.

Rintaro, karakter dari novel sebelumnya The Cat Who Saved Books disini kembali muncul sebagai karakter pendukung yang bijak.

Namun, cerita Nanami membawa nuansa yang lebih ringan, lebih cocok bagi pembaca muda, tanpa kehilangan kedalaman pesan yang dibawanya.

Lewat gaya penulisan yang sederhana namun menyentuh, The Cat Who Saved the Library mengajak kita bertualang tidak hanya dalam dunia magis di balik rak buku, tetapi juga ke dalam hati kita sendiri.

Buku ini seperti menjadi pengingat untuk kita bahwa dunia memang menuntut kita untuk bergerak cepat. Dengan membaca, kita bisa jadi lebih memahami dan kembali menjadi manusia.

Secara keseluruhan, novel The Cat Who Saved the Library ini sangat cocok untuk kalian yang mencari bacaan yang penuh makna dan penuh haru bahagia di akhir kisah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak