Di buku ketiga dari seri perjalanan waktu karya Toshikazu Kawaguchi ini, latar cerita berpindah dari kafe kecil nan hangat Funiculi Funicula di tengah hiruk pikuk Tokyo ke sebuah tempat baru yang tak kalah memikat. Kafe itu bernama Café Donna Donna.
Sebuah kafe tenang yang berdiri di lereng Gunung Hakodate, dikelilingi suasana pegunungan yang sejuk dan menenangkan.
Konsepnya masih sama dengansebelumnya. Pelanggan datang ke kafe untuk melakukan perjalanan ke masa lalu. Syaratnya mereka harus duduk di sebuah kursi khusus dan kembali ke masa kini sebelum kopinya dingin.
Kawaguchi masih setia dengan gaya penceritaannya yang khas: kalimat-kalimat yang sederhana, mengalir tenang, tapi menyimpan emosi yang dalam.
Buku ini tetap mengusung perpaduan antara fantasi dan realisme magis, dua elemen yang menjadi ciri kuat dalam karya-karya sebelumnya.
Tema yang diusung sebenarnya tidak jauh dengan buku sebelumnya. Ia membahas seputar penyesalan yang dilakukan di masa lalu, dan berusaha mengenangnya kembali melalui duduk di kafe.
Dalam buku ini, kita akan bertemu dengan empat pelanggan baru Café Donna Donna, masing-masing membawa luka dan harapan mereka sendiri.
Ada yang ingin memperbaiki hubungan, ada pula yang ingin mengucapkan selamat tinggal dengan lebih baik.
Setiap cerita memberi potongan emosi yang berbeda, dan semuanya saling melengkapi dalam satu benang merah besar: bahwa masa lalu memang tak bisa diubah, tapi cara kita memahaminya bisa menentukan bagaimana kita melangkah ke depan.
Namun, dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, Before Your Memory Fades terasa sedikit kurang menggigit. Beberapa narasi terlihat ada yang berulang, sehingga membuat maknanya kurang menyentuh.
Beberapa bagian cerita seperti mengulang formula yang sama, yaitu seseorang datang, mengajukan permintaan, dijelaskan aturan, lalu melakukan perjalanan, tanpa membawa kedalaman baru yang cukup signifikan.
Kita juga diberi sedikit ruang untuk lebih mengenal emosi terdalam para tokohnya. Di beberapa bagian, rasanya hubungan emosional yang seharusnya bisa kuat justru lewat begitu saja.
Padahal, karakter-karakter yang ditampilkan sebenarnya memiliki latar belakang yang menarik. Masalah yang dialami setiap tokoh sudah cukup menarik, hanya saja kurang eksplorasi. Sehingga emosionalnya kurang muncul.
Ada beberapa bagian yang ceritanya kurang digali lebih dalam, sehingga hal-hal yang seharusnya lebih menyentuh jadi kurang terasa.
Saya pribadi berharap bisa melihat lebih banyak pergolakan batin, lebih banyak keheningan yang berbicara, seperti yang berhasil ditampilkan dalam buku pertama.
Meski begitu, Before Your Memory Fades masih menjadi bacaan menarik untuk kalian pecinta novel dengan tema time travel.
Lokasi baru yang ditampilkan memberi nuansa segar, dan kehadiran karakter-karakter baru di balik meja kafe juga membawa warna berbeda.
Buku ini tetap mengusung pesan yang serupa: bahwa waktu, sejatinya, tak selalu mampu mengubah segalanya. Justru kitalah yang perlu belajar menerima, mengikhlaskan, dan menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalu.
Rasanya akan cocok untuk kalian pecinta novel yang ringan namun menyentuh perasaan secara mendalam.
Jika kamu sudah jatuh hati pada Before the Coffee Gets Cold dan Tales from the Café, mungkin kamu akan tetap menikmati buku ini, meski dengan ekspektasi yang sedikit disesuaikan.
Pada akhirnya, Before Your Memory Fades tetap menjadi kelanjutan yang pantas dari dunia kafe penuh keajaiban waktu ciptaan Kawaguchi.
Melalui kisah ini, kita seperti diajak untuk menyadari bahwa masa lalu tidak akan bisa berubah. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengenangnya. Serta menyadari bahwa kesempatan memperbaiki untuk masa depan masih terbuka.