Ulasan Buku How to Die: Menyambut Kematian dari Segi Filsuf Romawi

Ayu Nabila | Shin Harin
Ulasan Buku How to Die: Menyambut Kematian dari Segi Filsuf Romawi
Buku How to Die (Gramedia)

Kematian sering kali dianggap sebagai topik yang suram dan menakutkan. Namun, dalam buku "How to Die", filsuf Stoik Romawi bernama Seneca justru mengajak pembacanya untuk melihat kematian dari sudut pandang yang lebih mendalam.

Buku ini bukan sekadar refleksi filosofis biasa, melainkan kumpulan surat yang ia tulis kepada orang-orang terdekatnya mengenai pentingnya menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.

Buku ini diterjemahkan dari karya asli Seneca dalam bahasa Latin, dan diterbitkan kembali dalam versi modern oleh penerbit dengan harapan membawa ajaran filsafat Stoa lebih dekat kepada pembaca masa kini.

Di dalamnya, Seneca menyampaikan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan sesuatu yang justru bisa dipahami, bahkan dipersiapkan.

Salah satu poin utama yang diangkat dalam buku ini adalah bagaimana kaum Stoa, termasuk Seneca, meyakini bahwa kebebasan sejati terletak dalam akal budi atau nalar manusia. Hal ini merupakan bentuk kebebasan yang tidak bisa dirampas oleh kondisi luar seperti penindasan, kemiskinan, penyakit, atau bahkan perbudakan.

Dalam konteks sejarahnya, ajaran ini muncul di tengah kondisi masyarakat Romawi yang penuh dengan penindasan dan ketidakadilan. Bagi mereka yang menjadi budak, buangan, atau korban tirani, ajaran Stoa hadir sebagai penghibur sekaligus kekuatan, bahwa mereka masih bisa merasa merdeka selama mereka memiliki kendali atas pikiran mereka sendiri.

Seneca kemudian menekankan lebih lanjut tentang bagaimana nalar itu tidak hanya menjadi sumber kebahagiaan, tetapi juga menjadi dasar dalam mengambil keputusan besar, termasuk keputusan untuk mengakhiri hidup. Ia memang membahas topik bunuh diri dalam kerangka filsafat Stoa, bukan sebagai ajakan, tapi sebagai bagian dari perenungan tentang kebebasan personal.

Meskipun pemikiran Seneca tentang bunuh diri ini bisa dipahami dalam konteks filsafatnya, tak dapat dipungkiri bahwa pandangan ini tidak akan selaras dengan semua orang.

Bagi sebagian pembaca, terutama yang memiliki keyakinan religius tertentu atau sedang dalam kondisi mental yang tidak stabil, bagian ini bisa terasa sensitif atau bahkan memicu. Karena itu, buku ini tidak disarankan untuk dibaca ketika sedang dalam keadaan emosional yang rapuh.

Namun di sisi lain, gagasan Seneca ini juga bisa ditafsirkan sebagai ajakan untuk menghargai hidup sepenuhnya. Bahwa hidup bukan soal panjang atau pendeknya waktu yang kita miliki, melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dengan penuh kesadaran dan kebaikan.

Dalam beberapa surat awalnya kepada Lucilius, sahabat dekat sekaligus muridnya, Seneca mengingatkan bahwa hidup manusia itu singkat. Kematian adalah keniscayaan.

Tetapi, bukan berarti kita harus menyerah dan pasrah begitu saja. Justru karena hidup itu sementara, kita didorong untuk mengisinya dengan hal-hal yang bermakna, agar ketika kematian datang, kita tidak menyisakan penyesalan yang mendalam.

Bagi Seneca, penyesalan adalah musuh utama saat menghadapi akhir kehidupan. Maka dari itu, ia mendorong agar kita tidak menunggu sampai terlambat untuk mulai hidup secara sadar, menjalani hari-hari dengan keberanian dan kejujuran.

"How to Die" bukanlah buku yang memberikan jawaban langsung tentang arti hidup dan mati, melainkan semacam cermin untuk melihat ke dalam diri. Buku ini mengajak kita untuk berpikir ulang tentang bagaimana kita memandang waktu, penderitaan, kebahagiaan, dan tentu saja, kematian.

Buku ini tidak menjanjikan kenyamanan atau solusi instan, tapi justru menyodorkan pemikiran yang bisa terasa menusuk namun juga menyadarkan. Pembaca diajak untuk bertanya, sudahkah aku hidup dengan sepenuh hati? dan apakah aku siap bila saatnya nanti harus pergi?

Bagi yang tertarik dengan filsafat hidup dan ingin menggali bagaimana para filsuf kuno memaknai eksistensi, "How to Die" adalah pilihan bacaan yang menarik. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, buku ini sebaiknya tidak dibaca ketika kondisi mental sedang labil, karena topiknya bisa sangat intens.

Walau saya pribadi tidak sepenuhnya sepakat dengan pandangan Seneca tentang bunuh diri sebagai bentuk kebebasan, saya tetap mengapresiasi pesan utama yang ia sampaikan, bahwa kita memiliki kendali atas hidup kita selama kita menjaga nalar tetap jernih. Dan bahwa hidup yang bijaksana jauh lebih penting daripada sekadar hidup yang panjang.

Dengan membaca buku How to Die, saya jadi lebih terdorong untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran, agar tidak ada sesal saat waktunya tiba untuk mengucapkan selamat tinggal.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak