Review Film Avatar Fire and Ash: Visual Memukau, tetapi Cerita Terasa Mengulang

M. Reza Sulaiman | Athar Farha
Review Film Avatar Fire and Ash: Visual Memukau, tetapi Cerita Terasa Mengulang
Poster Film Film Avatar - Fire and Ash (Dokumentasi Pribadi/Athar Farha)

James Cameron identik dengan film-filmnya yang megah dan berani ambil risiko. Kali ini risiko itu ada pada Film Avatar - Fire and Ash yang rilis di bioskop Indonesia sejak 17 Desember 2025, sekuel yang tayang lebih awal di Indonesia dan digadang-gadang lebih besar, berani, bahkan jauh lebih baik dari sisi teknis. 

Sinefil tentu tahu banget, dari Film Aliens hingga Film Terminator 2, James Cameron punya reputasi langka sebagai sutradara yang tahu bagaimana menaikkan tensi alih-alih sebatas mengulang momen. 

Maka dari itu, sangat wajar bila ada ekspektasi tinggi pada Film Avatar - Fire and Ash. Yup, ini bukan hanya film ketiga, tapi juga penutup potensial dari kisah ambisius yang membangun dunia Pandora selama lebih dari satu dekade. Dan bila sukses, akan sangat terbuka peluang lanjutan untuk film keempat dan kelima. 

Kulik Bareng Kisahnya, Yuk!

Bagian dari Poster Film Avatar - Fire and Ash (IMDb)
Bagian dari Poster Film Avatar - Fire and Ash (IMDb)

James Cameron dengan skenario garapan Cameron, Rick Jaffa, dan Amanda Silver, kembali membawa kita ke Pandora setahun setelah tragedi besar di ‘The Way of Water’. 

Ceritanya masih tertuju pada Keluarga Jake Sully, yang mana kali ini Jake (Sam Worthington), Neytiri (Zoe Saldana), dan anak-anak mereka, bergulat dengan trauma atas kehilangan Neteyam. 

Kali ini, fokus emosional diarahkan pada Lo’ak (Britain Dalton), yang membuka film dengan narasi tentang duka dan rasa bersalah. Sebuah pembuka yang menjanjikan, seolah-olah film ini akan menyelam lebih dalam ke luka batin para karakternya.

Betewe di tengah duka itu, ancaman baru muncul di planet Pandora. Kali ini bukan hanya dari manusia alias Sky People, tapi juga dari kelompok Na’vi baru yang agresif yang dikenal sebagai Ash People (atau Klan Mangkwan). Mereka adalah suku Na’vi yang tinggal di wilayah vulkanik, memiliki hubungan erat dengan elemen api, tapi menolak keterhubungan dengan Na’vi. Mereka dipimpin Varang, si pemimpin keras yang berbahaya. 

Ash People ini kemudian bersekutu dengan Kolonel Miles Quaritch, yang sudah menjadi ancaman besar sejak film sebelumnya, sehingga konflik semakin kompleks dan intens. Pertempuran besar antara klan Na’vi yang berbeda, termasuk Metkayina (suku laut) beserta orang-orang Pandora lainnya, pun nggak terhindarkan. 

Dari sisi cerita sudah terbayang betapa megah dan seru kisahnya, kan? Sayangnya ekspektasi tinggi dan bayang kemegahan itu pada akhirnya hanya jadi angan yang bisa jadi bikin kecewa atau sebaliknya. 

Kupas Tuntas Film Avatar - Fire and Ash

Bagian dari Poster Film Avatar - Fire and Ash (IMDb)
Bagian dari Poster Film Avatar - Fire and Ash (IMDb)

Jadi begini, aku merasa film ini berkali-kali menyentuh ide menarik terkait dari tema kehilangan dan keseimbangan antara damai dan kekuasaan. Sayangnya memang, semua itu terasa dilepas begitu saja. ‘Fire and Ash’ kayak takut terlalu jauh meninggalkan zona nyaman yang sudah terbukti sukses di film sebelumnya.

Betewe Quaritch (Stephen Lang) kembali hadir sebagai antagonis utama, tapi kali ini sepenuhnya dalam tubuh Na’vi. Secara konsep, ini masih menarik, tapi secara eksekusi, aku merasa kehadirannya terlalu mendominasi tanpa menawarkan perkembangan berarti. Dia tetap Quaritch yang keras, obsesif, dan militeristik, hanya saja kini berkulit biru.

Yang paling disayangkan tuh porsi besar cerita yang diberikan pada Spider (Jack Champion). Sebagai anak manusia yang dibesarkan di Pandora pun diadopsi Jake dan Neytiri, Spider seharusnya jadi jembatan emosional antara dua dunia. Namun penulisannya terasa dangkal. Padahal, secara plot, Spider memegang peran krusial bagi rencana manusia untuk kembali menguasai Pandora.

Dan buat pendatang baru paling mencolok adalah Varang (Oona Chaplin), pemimpin klan Mangkwan (kelompok Na’vi yang jauh lebih brutal) hampir kultis, dan sangat berbeda dari klan-klan sebelumnya. Secara visual dan konsep, Varang terbilang karakter yang fresh. Sampai-sampai aku ‘nyeletuk’, “Akhirnya ada antagonis baru yang benar-benar menarik.”

Sayangnya, lama-lama kok luntur begitu saja. Sosok Varang perlahan tersingkir jadi karakter pendukung doang. Ini terasa seperti peluang emas yang disia-siakan. 

Masalah terbesar ‘Fire and Ash’ terletak pada klimaksnya. Tanpa membocorkan lebih detail, aku hanya bisa mengatakan terlalu banyak momen yang terasa ini tuh sebenarnya jauh lebih tepat diberi judul ‘The Way of Water part 2’. 

Meski begitu, sulit rasanya mengabaikan daya pikat utamanya. Pandora masih jadi dunia fiksi paling memukau yang pernah ada. Setiap lanskap, makhluk, dan teknologi dirancang dengan detail super gila sih. 

Begitulah. Aku paham bila nantinya banyak penonton akan memaafkan kelemahan ceritanya demi pengalaman visual ini. Nggak apa-apa kok. Yuk, buruan ke bioskop dan tonton film ini!

Skor: 3,8/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak