Ulasan Novel Rara Mendut: Riak Ombak Mengusung Kemerdekaan Perempuan

Hayuning Ratri Hapsari | Delima Ubadiyah Mudrik
Ulasan Novel Rara Mendut: Riak Ombak Mengusung Kemerdekaan Perempuan
Novel Rara Mendut (Dokumen Pribadi/Delima)

Rara Mendut merupakan salah satu bagian dari trilogi gubahan Y.B. Mangunwijaya. Novel yang begitu lama telah saya idam-idamkan untuk dibaca. Tidak mengherankan, sebab karya-karya Romo Mangun (sapaan akrabnya) begitu memukau.

Ia tidak hanya dikenal sebagai sastrawan, tetapi juga seorang rohaniawan, arsitek, budayawan, sekaligus aktivis sosial. Kiprah dan idealismenya bahkan pernah saya ulas dalam penulisan skripsi saya.

Novel Rara Mendut sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung pada surat kabar harian Kompas pada tahun 1982. Berlatar masa pemerintahan Panembahan Hanyakrakusuma atau sekarang dikenal sebagai Sultan Agung.

Novel ini tidak sekadar mengajak pembaca menyusuri jejak sejarah, namun juga menyingkap pelbagai lapisan konflik sosial, politik, hingga persoalan gender yang masih relevan hingga saat ini.

Rara Mendut bukan sekadar nama tokoh protagonis. Ia menjadi simbol dari riak kecil yang mampu menggoyahkan tatanan yang dianggap sakral. Melalui tokoh Rara Mendut, Romo Mangun menyuarakan kegelisahan perempuan terhadap sistem patriarki dan dominasi politik.

Konflik Batin yang Dirasakan

Mendut bukanlah perempuan yang sumarah (pasrah) ketika tubuh dan hidupnya akan dijadikan alat tawar-menawar kekuasaan. Ia justru menghadirkan perlawanan melalui keberanian dan kecerdikannya demi meraih sesuatu yang sangat hakiki: KEMERDEKAAN.

Rara Mendut tumbuh dan dibesarkan dengan kebebasan lautan. Hidup sebagai seorang nelayan perempuan menjadikan dirinya sebagai sosok yang berjiwa bebas. Kendati demikian, ke-elokan dirinya telah memikat seorang Adipati Pragola, penguasa Kadipaten Pati.

Kehidupan Rara Mendut berubah nyaris total. Dia diharuskan untuk hidup dalam puri keputren agar mendapatkan pendidikan, tata krama dan keterampilan sebagaimana putri bangsawan. Sejak saat itu, jiwanya terus menerus menolak, menjadi perempuan bangsawan menurutnya adalah belenggu yang menyesakkan.

Kekalahan Kadipaten Pati atas Mataram menjadi permulaan bagaimana konflik terus menerus terjadi. Salah satu kutipan pada sinopsis buku ini juga mampu menyentuh hati saya.

“Tubuh di rampas memang. Tapi hati tidak. …. Tidak mudah menjadi gadis cantik, Nduk. Tidak mudah. Apalagi di kalangan istana. Di sini kita menjadi barang hiburan belaka. Di luar kita lebih mudah jadi orang.”

Sinopsis di atas menyiratkan getirnya kehidupan Mendut sebagai putri boyongan yang menolak tunduk pada kehendak Tumenggung Wiraguna, selaku panglima perang yang hedak mempersuntingnya atas nama kuasa.

Tak terbayangkan bagaimana sulitnya hidup sebagai perempuan di era itu. Setidaknya sekarang, saya tidak perlu menggadaikan nyawa demi ego kekuasaan seorang lelaki.

Kritik Sosial dan Representasi Kebebasan

Topik utama novel ini adalah tentang kehidupan seorang perempuan dalam menghadapi beban kekuasaan. Novel ini menjadi refleksi tentang bagaimana relasi kuasa, egoisme laki-laki, dan sistem sosial membuat posisi perempuan menjadi sangat rentan.

Melalui tokoh Tumenggung Wiraguna, kita dapat mengetahui bagaimana kekuasaan kerap dijalankan atas nama kehormatan, namun sejatinya adalah bentuk penindasan yang dibungkus dengan wibawa.

Sementara Mendut hadir sebagai suara perlawanan yang tak getir. Ia membuktikan bahwa perempuan mampu bersikap tegas tanpa harus merendahkan laki-laki. Perlawanan demi perlawanan ia lakukan demi menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai perempuan berdaya.

Kutipan ini menjadi bukti bagaimana cinta dapat tercemar oleh hasrat akan kepemilikan:

“Rambut-rambut wanita panjang, Kanjeng Tumenggung. Daya rabanya pun panjang dan lembut. Wanita di dalamku merasa; Paduka mencintai gengsi kaum pria. Paduka mencintai kewibawaan panglima yang jaya. Bukan si Mendut yang si Mendut. Mendut bagi Paduka hanyalah lambang peneguhan kejayaan senjata dan kewibawaan Mataram.”

Kalimat itu menunjukan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan, dalam banyak kasus, masih diliputi superioritas yang merugikan. Hubungan yang seharusnya dilandasi kasih justru dipenuhi dengan motif untuk meneguhkan kekuasaan.

Dari novel Rara Mendut kita bisa memahami bahwa sejatinya kemerdekaan tidak bisa didapatkan dengan cuma-cuma. Kemerdekaan perlu diperjuangkan.

Kemenangan atas kebebasan didapatkan dengan perjuangan yang panjang nan sulit. Penuh duka dan intrik. Melalui cerita Rara Mendut, kita belajar untuk tidak pernah meremehkan kekuatan perempuan yang memilih untuk melawan dengan akal, keberanian, dan cinta yang tulus.

Kelebihan dan Kekurangan Buku

Novel Rara Mendut layak dimiliki dan diselami. Alur ceritanya begitu indah namun tetap menegangkan. Ini bukan sekadar novel yang layak dibaca, namun juga direnungkan.

Bukan untuk ditamatkan dalam sekali duduk, tetapi untuk dinikmati dengan perlahan-lahan: seperti riak ombak yang membawa pesan dari masa lalu, tentang kemerdekaan sesungguhnya.

Romo Mangun menulis dengan alur yang runut dan narasi yang tertata rapi. Alur linearnya memudahkan pembaca menyelami setiap bagian cerita, tanpa kehilangan esensinya.

Dalam novel ini, ia mengejawantahkan berbagai tema seperti pengorbanan, perlawanan, dan ketimpangan kekuasaan. Setiap tokoh digambarkan dengan batin yang kompleks, membuat seolah-olah kita turut merasakan pergolakan batin yang mereka alami.

Gaya penulisan Romo Mangun juga unik: kuat dalam penggambaran latar dan penuh nuansa budaya lokal. Meski cerita ini penuh ketegangan, namun selipan humor mampu memecah ketegangan tanpa kehilangan keutuhan narasi.

Dan perlu saya akui, gaya bahasanya yang kental dengan majas dan metafora terkadang membuat bacaan terasa berbelit-belit. Belum lagi penggunaan sajak dan tembang Jawa cukup membuat saya kesulitan. Jika tidak disertakan catatan kaki, mungkin saya akan kelelahan menafsirkan makna kalimat-kalimat bahasa Jawa tersebut.

Di balik kekuatan narasi novel ini, ada satu hal yang mengganggu saya secara pribadi, yaitu sampul edisi terbaru 2025. Di balik desainnya yang apik, tapi terlalu eksplisit dalam menampilkan alur cerita. Bagi saya yang kurang menyukai spoiler, hal ini sedikit mengurangi kepuasan pembaca.

Identitas Buku

Judul Buku: Rara Mendut

Penulis: Y.B. Mangunwijaya

Penerbit: Kompas Gramedia

Tahun Terbit: 2025

Jumlah Halaman: 338 halaman

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak