Agnostisisme: Seni Menapaki Jalan di Antara Yakin dan Ragu

Hikmawan Firdaus | Albertus Daniel
Agnostisisme: Seni Menapaki Jalan di Antara Yakin dan Ragu
Agnostisisme: Sebuah Pengantar Singkat.[Dok. Pribadi)

Di dunia yang sering memaksa kita memilih antara “ya” atau “tidak”, percaya atau menolak, ada sebuah jalan sunyi yang jarang dilalui. Jalan itu bernama agnostisisme—sebuah posisi yang memilih untuk tidak memihak secara gegabah, karena sadar bahwa kebenaran tentang hal-hal tertinggi tak selalu mudah disentuh oleh nalar manusia.

Robin Le Poidevin, lewat bukunya Agnostisisme: Sebuah Pengantar Singkat, mengajak kita memasuki ruang hening ini. Di sana, suara-suara keyakinan dan penolakan terdengar sayup, bergema di kejauhan, sementara kita berdiri di tengah—bukan dalam kebimbangan yang kosong, melainkan dalam kesadaran penuh akan keterbatasan pengetahuan manusia.

Mengurai Asal Usul Sebuah Sikap

Le Poidevin memulai perjalanannya dengan menelusuri akar agnostisisme—istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Thomas Huxley pada abad ke-19. Namun, semangat agnostik jauh lebih tua, tercermin dalam filsafat kuno yang mengakui bahwa ada batas pada kemampuan manusia untuk mengetahui.

Agnostisisme lahir bukan dari kemalasan berpikir, tetapi dari kerendahan hati intelektual. Ia berkata, “Aku belum tahu, dan mungkin memang takkan pernah tahu.”

Antara Teisme dan Ateisme

Buku ini mengajak kita memahami bahwa agnostisisme bukanlah titik tengah yang abu-abu dan pasif. Ia bukan sekadar menunda keputusan, melainkan sebuah posisi filosofis yang sadar: bukti yang ada—baik dari pihak teisme maupun ateisme—belum cukup untuk memutuskan secara final.

Di satu sisi, teisme menawarkan narasi tentang makna, tujuan, dan penciptaan. Di sisi lain, ateisme memegang rasionalitas dan skeptisisme sebagai lentera penuntun. Agnostisisme berjalan di antara keduanya, mengakui bahwa cahaya dan bayangan masih berbaur, bahwa peta kebenaran belum lengkap.

Seni Hidup dalam Ketidakpastian

Bagi banyak orang, ketidakpastian adalah kegelisahan. Namun, Le Poidevin menunjukkan bahwa ketidakpastian juga bisa menjadi ruang kebebasan. Agnostisisme membebaskan kita dari ilusi bahwa kita harus selalu punya jawaban pasti.

Ia memberi ruang untuk terus bertanya, bereksperimen, dan membuka diri pada wawasan baru. Dalam dunia yang sering tergesa-gesa memberi label pada segala hal, sikap ini adalah bentuk kesabaran intelektual—kemampuan untuk berkata: “Aku tidak tahu, tapi aku terus mencari.”

Relevansi di Era Modern

Di era informasi, di mana argumen tentang keberadaan Tuhan bisa ditemukan hanya dalam satu klik, kita sering terjebak dalam banjir opini. Agnostisisme menawarkan pelampung: ia menolong kita untuk tidak tenggelam dalam klaim-klaim yang belum teruji, sekaligus mengajak kita mempertahankan rasa ingin tahu.

Buku ini mengingatkan bahwa dalam hal-hal yang paling dalam—seperti asal-usul kosmos, makna keberadaan, atau kehidupan setelah mati—tidak ada yang salah dengan mengakui keterbatasan. Justru, dari pengakuan itu, percakapan dan pencarian sejati bisa tumbuh.

Penutup: Sebuah Undangan untuk Merenung

Agnostisisme: Sebuah Pengantar Singkat bukan hanya buku filsafat tipis yang membicarakan label kepercayaan. Ia adalah undangan untuk menghayati hidup dengan pikiran yang terbuka, hati yang rendah, dan kesediaan untuk menempuh jalan di antara yakin dan ragu.

Di ujung halaman, Le Poidevin seakan berkata kepada kita:

“Kebenaran mungkin jauh di depan, atau tersembunyi di balik kabut. Tetapi perjalanan mencarinya adalah bagian dari makna hidup itu sendiri.”

Dan mungkin, di jalan sunyi inilah—di antara kepastian dan ketidakpastian—kita menemukan bentuk kebijaksanaan yang paling manusiawi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak