Ayahku (Bukan) Pembohong adalah novel yang mengajak kita merenung. Kapan terakhir kali kita memeluk Ayah? Tere Liye selalu punya cara mengaduk-aduk hati pembacanya.
Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong, penulis menghadirkan kisah kasih sosok ayah terhadap keluarga. Dan barangkali, luka-luka tersembunyi yang tak pernah sempat diceritakan oleh sosok ayah yang selalu dikenal tangguh.
Identitas Buku
- Judul: Ayahku (bukan) Pembohong
- Penulis: Tere Liye
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Tebal: 304 Halaman
- Genre: Fiksi
Tokoh utama, Dam, tumbuh besar ditemani ayah yang gemar bercerita. Tapi bukan cerita biasa, kisah-kisah ayahnya selalu memukau, penuh petualangan, tokoh inspiratif, dan pelajaran hidup yang mendorong Dam berprestasi. Dari cerita tentang Sang Kapten, pesepak bola dunia yang dulunya hanya pengantar sup jamur, hingga kisah suku pengendali angin dan apel emas di Lembah Bukhara, semuanya membentuk cara Dam memandang dunia.
Antara Cinta, Cerita, dan Luka yang Tak Terucap
Sebagai anak, Dam tak pernah peduli apakah cerita itu nyata atau hanya karangan ayahnya. Yang penting, ia terinspirasi—menjadi juara lomba renang, masuk sekolah arsitektur terbaik, dan tumbuh percaya diri.
Namun, hidup tidak hanya tentang kisah manis. Saat bersekolah di Akademi Gajah, Dam mulai menemukan fakta yang mengguncang keyakinannya. Hukuman membersihkan perpustakaan membuatnya menemukan buku-buku berisi cerita mirip dengan kisah masa kecilnya. Dari sahabatnya, Retro, ia mendengar kemungkinan bahwa semua itu hanyalah dongeng.
Tentang Keraguan yang Tumbuh Perlahan
Puncaknya, Dam pulang kampung karena ibunya sakit keras. Di rumah sakit, ia mengetahui fakta pahit: ibunya mengidap kanker sejak 20 tahun lalu, tetapi ayah selalu bilang itu hanya “kecapekan”. Baginya, itu kebohongan terbesar—bukan lagi soal cerita masa kecil, tapi tentang menyembunyikan kebenaran yang menyangkut nyawa.
Pertengkaran pun tak terelakkan. Dam memanggil ayahnya pembohong, bahkan mengabaikan cerita terakhir yang ayah ingin sampaikan di pusara ibunya. Sejak saat itu, hubungan mereka renggang. Dam jarang pulang, fokus pada karier arsitekturnya, menikah dengan Taani, dan membangun keluarga.
Tentang Sosok Ayah di Mata Kekecewaan Anak
Hingga suatu hari, ayah tinggal bersama mereka. Cucu-cucu, Zas dan Qon, menyukai cerita kakek—cerita yang sama yang dulu Dam dengar. Namun, bagi Dam, semua itu hanya mengulang luka lama. Kemarahan memuncak ketika anak-anaknya membolos demi mencari kebenaran cerita sang kakek. Dalam ledakan emosi, Dam mengusir ayahnya.
Malam itu hujan deras. Ayah melangkah pergi ditemani isak cucu-cucunya. Keesokan paginya, ia ditemukan pingsan di dekat pusara istrinya. Rasa bersalah menghantam Dam seperti badai. Di rumah sakit, ayah meminta maaf—padahal Dam tahu, seharusnya ia yang meminta maaf.
Sang ayah lalu meminta Dam mendengar satu cerita terakhir—kisah tentang Danau Para Sufi. Dengan suara berat, ayah bercerita hingga akhir… lalu tak pernah membuka mata lagi.
Pemakaman ayah Dam dipenuhi ribuan orang, bahkan lebih ramai daripada pemakaman ibunya. Layang-layang menghiasi langit, seolah alam ikut mengiringi kepergian. Lalu datanglah kejutan terakhir: rombongan Sang Kapten hadir, memberi penghormatan. Dam tertegun. Tiba-tiba ia sadar—mungkin ayahnya tidak selalu berbohong. Mungkin, di antara dongeng-dongeng itu, ada benang kebenaran yang nyata.
Nilai dan Pesan Moral
Novel ini bukan hanya tentang hubungan ayah-anak. Ia adalah refleksi tentang:
- Cinta tanpa syarat – Ayah Dam membesarkan anaknya dengan cara yang unik: lewat cerita.
- Kekuatan inspirasi – Bahkan jika dibungkus dalam dongeng, semangat pantang menyerah bisa mengubah hidup seseorang.
- Luka karena rahasia – Terkadang niat melindungi justru melahirkan jarak.
- Penyesalan yang terlambat – Hidup tidak memberi kita kesempatan kedua untuk memperbaiki semua kata yang sudah terucap.
Kadang, “kebohongan” adalah cara orang tua menjaga hati anaknya. Tapi di balik itu, tersimpan kasih yang tak terbatas. Dan mungkin, pada akhirnya, Dam dan kita semua akan menyadari bahwa ayahnya memang bukan pembohong. Ia hanyalah seorang pencerita… yang percaya bahwa dongeng bisa menumbuhkan sayap di hati anaknya.
Dan terkadang, kita juga perlu menyadari keterbatasan manusia. Hanya karena tidak tahu dan kurangnya ilmu pengetahuan, bukan berarti kita langsung menganggap orang lain sedang berbohong. Kadang, cerita tak masuk akal itu memang terjadi. Dan hanya akan dipercaya ketika mengalami sendiri. Namun, kadang kesadaran itu hadir saat semua sudah terlambat.