Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura karya Rusdi Mathari adalah contoh bagaimana sastra religi bisa tampil ringan, jenaka, sekaligus menampar kesadaran pembacanya tanpa perlu berkhotbah.
Sekilas, kumpulan cerita ini mengingatkan pada kisah-kisah klasik Nasruddin Hodja atau Abu Nawas. Penuh kelucuan, paradoks, dan kebijaksanaan yang diselipkan lewat tokoh “aneh”. Namun bedanya, Rusdi Mathari menanamkan kebijaksanaan itu di tanah Indonesia. Tepatnya Madura, dengan bahasa, kultur, dan problem masyarakat yang sangat dekat dengan keseharian kita.
Sinopsis Buku
Buku ini berlatar sebuah desa fiktif bernama Ndusel. Namanya saja sudah memancing senyum. Dengan penduduk yang karakternya beragam dan hidup apa adanya. Ada Mat Piti, lelaki sederhana yang gemar menolong tetangga. Ada Romlah, putrinya, yang menjadi bunga desa. Ada Pak Lurah dengan segala peran strukturalnya.
Namun pusat cerita ada pada Cak Dlahom, sosok yang oleh warga dianggap “kurang waras”, bahkan gila. Ia pernah membawa anjing ke kandang kambing dan memeluknya, sebuah tindakan yang bagi warga cukup untuk memberi cap sesat. Tapi justru dari sosok inilah kebijaksanaan paling tajam lahir.
Kelebihan Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Cak Dlahom menjadi medium utama Rusdi Mathari untuk menyampaikan ajaran-ajaran sufistik dengan cara yang membumi. Percakapannya dengan Mat Piti yang diam-diam ingin berguru kepadanya menjadi tulang punggung cerita.
Dialog-dialog mereka tampak sederhana, bahkan remeh, tetapi selalu berujung pada refleksi yang dalam. Dari sinilah buku ini terasa seperti “perut ditonjok bertubi-tubi”: sakit, nyelekit, namun membersihkan kepala dan hati secara bersamaan.
Menariknya, kisah-kisah dalam buku ini banyak terinspirasi dari cerita Syekh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim. Namun Rusdi Mathari mengolahnya dengan gaya yang segar. Ajaran tasawuf tidak disampaikan lewat istilah berat atau dalil panjang, melainkan melalui nyamuk, kencing dan berak, wayang, kapuk bantal, hingga batu.
Dari Cak Dlahom, pembaca diajak belajar kemuliaan dari nyamuk, keikhlasan dari aktivitas paling manusiawi, kesetiaan dari benda mati, dan memahami fitnah dari kapuk yang beterbangan. Semua terdengar absurd, dan memang itulah kekuatannya.
Label “merasa pintar” dalam judulnya terasa sangat relevan: buku ini seolah menguliti ego pembaca yang kerap merasa paling tahu, paling benar, dan paling saleh.
Kekurangan Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Aku suka cara penulisnya yang mengemas cerita dengan alur yang rapi dan bumbu plot twist kecil. Namun untuk orang yg banyak memberi petuah bijak sosok Cak Dlahom terlalu banyak kekurangan yang tampak mata. Ia tidak sholat, hidup menumpang, dan menerima zakat karena fakir miskin. Namun, mengomentari sosok orang kaya yang memberi manfaat.
Semua cukup masuk akal jika mengingat mungkin karena itulah sosok Cak Dlahom digambarkan sebagai orang gila. Yang mana semua kekurangan itu menjadi kewajiban yang gugur dalam agama. Gila dalam hal ini adalah penanda bahwa ia telah berada di luar kalkulasi pahala-dosa yang biasa. Maka, ketidaksalatannya, ketergantungannya pada orang lain, dan posisinya sebagai penerima zakat bukan kontradiksi, melainkan bagian dari simbol.
Dengan menjadikan Cak Dlahom sebagai “orang gila”, penulis seperti sedang memberi tameng naratif: hanya orang gila yang boleh berkata jujur tanpa perlu menjaga citra. Dari mulut orang seperti inilah kritik sosial dan religius bisa disampaikan tanpa harus tunduk pada hirarki moral.
Ia boleh mengomentari orang kaya bukan dari posisi superior, melainkan dari posisi kosong (tidak punya apa-apa untuk dipertahankan). Justru karena ia tidak berdaya, kata-katanya terasa telanjang dan tak berkepentingan.
Pesan Moral
Di titik ini, buku ini tidak sedang mengajak pembaca meniru Cak Dlahom secara harfiah. Ia bukan role model praksis, melainkan cermin retak. Kita tidak diminta menjadi fakir, apalagi meninggalkan kewajiban agama, tetapi diajak bertanya: selama ini, apakah ibadah kita benar-benar membuahkan kerendahan hati? Apakah kebaikan sosial kita lahir dari cinta, atau sekadar dari rasa lebih tinggi?
Plot twist kecil dan alur yang rapi membuat keganjilan itu terasa terkontrol. Rusdi Mathari tidak sedang meromantisasi kemiskinan atau ketidaktaatan, melainkan menggunakan sosok yang “tidak pantas” untuk menyampaikan pesan yang justru paling sulit diterima dari mulut orang saleh biasa. Sebab, petuah dari orang yang tampak sempurna sering kali terasa menggurui. Sementara petuah dari orang yang compang-camping memaksa kita menimbang ulang prasangka sendiri.
Ketidaksempurnaan Cak Dlahom bisa dibilang strategi penulis. Ia mengganggu, membuat tidak nyaman, bahkan bisa membuat pembaca tersinggung. Dan mungkin memang itu niatnya. Karena barangkali, sastra sufistik memang tidak hadir untuk menenangkan iman, tetapi untuk mengusiknya, agar kita sadar: yang sering paling rapi di luar, belum tentu paling jujur di dalam.
Pada akhirnya, buku ini menuntut satu hal dari pembacanya: mengosongkan diri. Bukan karena isinya terlalu rumit, tetapi justru karena ia mengingatkan bahwa kita ini sering kali terlalu penuh oleh rasa paling pintar. Padahal, di hadapan semesta dan di hadapan-Nya kita mungkin memang bukan siapa-siapa.
Identitas Buku
- Judul: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (Kisah Sufi dari Madura)
- Penulis: Rusdi Mathari
- Penerbit: Buku Mojok
- ISBN: 978-602-1318-40-9
- Jumlah Halaman: 226 halaman
- Genre: Kisah Sufi, Fiksi, Komedi-Reflektif.