Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah yang rilis pada tanggal 4 September 2025 ini adalah drama keluarga yang bikin air mata meleleh sekaligus hati terenyuh.
Disutradarai oleh Kuntz Agus dan diproduksi oleh Rapi Films, film ini menggambarkan potret keluarga disfungsional yang begitu nyata dan relatable, terutama buat banyak orang Indonesia.
Dengan durasi 119 menit, film ini nggak cuma menyentuh tapi juga ngajak kita merenung soal pengorbanan, luka batin, dan pentingnya komunikasi dalam keluarga. Yuk, kita kulik lebih dalam!
Film ini berpusat pada Alin (Amanda Rawles), mahasiswi kedokteran yang terpaksa pulang ke rumah karena beasiswanya terancam dicabut. Pulang ke rumah, Alin malah dihadapkan sama kenyataan pahit: keluarganya sedang berjuang keras.
Ibunya, Wulan (Sha Ine Febriyanti), adalah tulang punggung keluarga yang banting tulang sendirian. Dari jualan, nyuci baju, sampai naik ke atap benerin bocoran pas hujan deras, Wulan lakuin semuanya tanpa bantuan suami, Tio (Bucek Depp), yang kehadirannya kayak hantu—ada tapi nggak ada.
Kakak Alin, Anis (Eva Celia), rela ninggalin mimpinya demi keluarga, sementara adiknya, Asya (Nayla Purnama), terpaksa dewasa sebelum waktunya. Klimaks cerita dimulai saat Alin nemuin buku harian ibunya.
Di situ, Alin tahu tentang mimpi-mimpi Wulan yang kandas, kisah cinta pertamanya, dan pilihan hidup berat yang dia ambil. Dari situ, Alin mulai nanya-nanya dalam hati: "Andai ibu nggak nikah sama ayah, apa hidupnya bakal lebih bahagia?"
Pertanyaan ini nggak cuma bikin Alin mikir soal ibunya, tapi juga soal hubungannya sendiri sama pacarnya, Irfan (Indian Akbar).
Alur cerita yang bolak-balik antara masa kini dan masa lalu ibunya bikin kita ikut terhanyut, apalagi saat adegan puncak di mana Alin akhirnya berani nanya langsung ke Wulan, “Kenapa Ibu nikah sama Ayah?”
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah

Salah satu kekuatan film ini ada di akting para pemainnya. Sha Ine Febriyanti sebagai Wulan bener-bener curi perhatian. Dia nggak cuma jadi ibu yang tangguh, tapi juga manusia biasa yang penuh luka dan kerapuhan. Adegan dia manjat atap pas hujan deras itu bikin dada sesak—bukan drama lebay, tapi real banget.
Amanda Rawles sebagai Alin juga nggak kalah cemerlang. Dia berhasil nunjukin perjuangan batin seorang anak yang bingung, marah, tapi akhirnya belajar memahami ibunya.
Eva Celia sebagai Anis bawa emosi yang dalam sebagai kakak yang rela berkorban, sementara Nayla Purnama sebagai Asya bikin kita pengen peluk dia karena terpaksa dewasa terlalu cepat.
Bucek Depp sebagai Tio, meski karakternya bikin gemes, sukses bikin aku dan penonton lainnya kesal sama sikap apatisnya.
Kuntz Agus, yang sebelumnya sukses dengan Dear Nathan: Thank You Salma, lagi-lagi tunjukin kepiawaiannya ngarahkan drama keluarga. Dia nggak cuma bikin cerita yang emosional, tapi juga memberikan ruang buat setiap karakter bersinar.
Naskah yang ditulis Evelyn Afnilia juga patut diacungi jempol. Ceritanya nggak cuma soal konflik keluarga, tapi juga tentang refleksi hidup yang bikin aku mikir: “Aku beneran kenal nggak sih sama orang tuaku?” Dialog-dialognya terasa natural, apalagi pas Alin dan Wulan akhirnya ngobrol jujur soal luka masa lalu.
Dari sisi visual, sinematografinya sederhana tapi kuat. Adegan-adegan seperti Wulan nyuci baju di bawah terik matahari atau manjat atap pas hujan bikin aku ngerasa “ini nyata banget”. Warna-warna yang dipilih juga mendukung suasana keluarga yang penuh beban tapi tetap ada harapan.
Musiknya, meski nggak bombastis, sukses bikin suasana makin menghanyutkan, terutama di adegan-adegan emosional seperti Alin baca buku harian ibunya.
Film ini nggak cuma soal drama keluarga, tapi juga tentang berdamai dengan masa lalu. Lewat Alin, kita diajak ngeliat bahwa orang tua juga manusia yang punya mimpi, luka, dan pilihan sulit.
Film ini juga ngingetin kita buat lebih peka sama pengorbanan ibu, yang seringkali nggak kelihatan karena mereka pinter nutupin lelahnya. Pesan soal pentingnya komunikasi antargenerasi juga kena banget—bikin aku pengin buru-buru telepon ibu dan nanya, “Bu, apa kabar?”
Meski hampir sempurna, film ini kadang terasa agak lambat di beberapa bagian, terutama pas narasi flashback yang agak panjang.
Karakter Tio juga mungkin terasa kurang dieksplor, jadi kesannya cuma “ayah yang jahat” tanpa banyak latar belakang. Tapi, ini nggak terlalu menganggu karena fokus cerita memang ada di Wulan dan anak-anaknya.
Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah adalah film yang wajib ditonton buat kamu yang suka drama keluarga yang ngena di hati. Dengan akting yang kuat, cerita yang relatable, dan pesan yang mendalam, film ini bakal bikin kamu nangis, tersenyum, dan pengen peluk ibu kamu setelah keluar bioskop.
Buat yang ngerasa punya hubungan rumit sama keluarga, film ini bakal memberikan perspektif baru soal pengorbanan dan penerimaan.
Jadi, siapin tisu dan catat tanggalnya buat nonton bareng keluarga! Rating dari aku: 8.5/10 “Karena ibu bukan cuma ibu, tapi juga manusia dengan mimpi dan luka yang nggak selalu kelihatan.”