Kadang ya, hidup itu memang bikin penat. Kerja, macet, notifikasi WhatsApp grup alumni SMA yang isinya bercanda nggak jelas, sampai urusan bayar cicilan. Semua bisa bikin kepala penuh. Dan orang butuh cara buat melepas itu semua. Ada yang pilih jalan-jalan, ada yang main ke kafe, ada juga yang tiba-tiba merasa cukup dengan scroll TikTok sampai kuota habis. Tapi buat sebagian orang, cara paling gampang itu ya berdansa. Gerakin badan, walau nggak jago, biar keringet keluar dan pikiran agak plong.
Nah, trio asal Jakarta yang menamakan diri mereka Ali kayaknya paham banget soal kebutuhan itu. Musik mereka seperti didesain buat bikin badan goyang, entah pelan entah heboh. Yang jelas, ada semacam energi “ayo joget dulu biar waras” yang mereka tawarkan.
Sekilas, mungkin ada yang ngira Ali ini band indie baru yang masih coba-coba. Padahal, kalau kita intip KTP musik mereka, ketiganya bukan orang sembarangan. Ada Kevin Septanto dari Elephant Kind, John Paul Patton dari Kelompok Penerbang Roket, dan Arswandaru Cahyo yang juga sudah lama wara-wiri di dunia musik. Jadi ibaratnya, Ali ini kayak tim sepak bola baru, tapi pemainnya bekas punggawa klub-klub besar. Mainnya sudah pasti lihai.
Musik yang mereka pilih pun nggak asal. Ali memadukan 70s cinematic soul/funk, disco, afrobeat, plus sentuhan garage rock. Kalau istilah gampangnya: ini musik buat orang yang pengin joget tapi tetap berasa keren. Bukan joget yang pakai kacamata hitam di pinggir jalan sambil putar musik dari toa warung nasi goreng, tapi joget yang lebih stylistic.
Coba dengerin single pertama mereka, Dance, Habibi. Dari judulnya aja sudah terasa ada ajakan, semacam bisikan nakal yang bilang, “Udah lah, jangan mikirin kerjaan dulu, joget dulu sini.” Musiknya hipnotik, beat-nya nempel di telinga. Bikin kepala otomatis ikut goyang, padahal awalnya niat cuma mau denger sebentar.
Yang bikin tambah unik, Ali nggak hanya main di musik, tapi juga di lirik. Mereka memasukkan bahasa Arab dalam lagu. Nggak banyak band Indonesia yang berani begitu. Dan ternyata, ini bukan sekadar gaya-gayaan, tapi memang diracik serius. Arswandaru bahkan dibantu saudaranya, Abdul Kadir, buat milih diksi Arab yang pas. Jadi, kalau denger Dance, Habibi, bukan cuma musiknya yang enak, tapi ada semacam nuansa Timur Tengah yang eksotis.
Proses produksinya pun nggak main-main. Ada Viki Vikranta dari Kelompok Penerbang Roket jadi mixing engineer, dan Moko Aguswan yang ngerjain mastering. Jadi ya, wajar aja kalau hasil akhirnya rapi tapi tetap punya roh liar yang bikin nagih.
Setelah cukup puas dengan Dance, Habibi, Ali nggak berhenti di situ. Awal Februari 2022, mereka keluar lagi dengan single Downtown Strut. Masih ada rasa yang sama dengan lagu pertama, tapi lebih upbeat. Kayak kita udah berhasil bikin orang joget, lalu kali ini ajak mereka joget lebih cepat. Dan bahasa Arab masih dipakai. Rupanya, ini jadi semacam benang merah buat musik Ali.
Produksinya pun makin rame. Masih ada tangan dingin Viki dan Moko, tapi kali ini ada tambahan Yosaviano Santoso sebagai engineer dan Ayla Adjie di bagian perkusi. Jadi, bayangin aja: beat funk yang udah bikin pinggang pingin gerak, ditambah perkusi yang nendang. Rasanya, kalau denger sambil duduk, malah nggak nyaman.
Ali ini menarik karena mereka nggak jatuh ke jebakan band baru yang sok eksperimental tapi ujung-ujungnya musiknya cuma enak di omongan, nggak enak di telinga. Mereka tahu apa yang mau mereka kasih, dan hasilnya jelas: musik yang bikin orang mau berjoget.
Kalau boleh sotoy sedikit, Ali ini punya potensi jadi teman baik buat generasi yang capek sama drama sehari-hari. Musik mereka kayak oase, tapi oase yang ada diskonya. Jadi bukan cuma tempat istirahat, tapi tempat istirahat yang bikin badan kembali segar karena dipaksa goyang.
Akhir kata, kalau kalian lagi jenuh, coba putar Ali. Siapa tahu, tanpa sadar, kaki mulai ketuk-tuk lantai, kepala goyang-goyang, dan hati yang tadinya berat mendadak lebih enteng. Ya, walau nggak semua masalah selesai dengan berdansa, tapi setidaknya, untuk beberapa menit, hidup terasa lebih menyenangkan.