Ada satu hal yang tidak pernah benar-benar tuntas ketika kita membicarakan dunia pendidikan. Kita sering membayangkannya sebagai ruang ideal yang bersih, rapi, dan penuh etika.
Namun sekolah, seutuh apa pun ingin digambarkan, tidak pernah steril dari kekerasan. Ia hanya berubah bentuk, meminjam ruang, dan muncul dalam cara yang kadang begitu halus sehingga hampir tidak terlihat.
Namun keberadaannya nyata. Salah satu bentuk kekerasan yang paling sering muncul, namun juga paling sering dianggap biasa, adalah perundungan.
Pengalaman saya sebagai praktisi hukum di sebuah lembaga bantuan hukum di Bekasi membawa saya pada kenyataan tersebut.
Ada jarak yang lebar antara hukum yang dituliskan dengan kehidupan yang dijalani para siswa. Dalam beberapa bulan menjalankan program Pendidikan dan Pengenalan Hukum di lingkungan sekolah, saya berulang kali mendapati situasi yang menggugah kesadaran saya.
Semakin sering saya turun ke sekolah, semakin saya melihat bahwa perundungan bukan lagi persoalan disiplin anak sekolah. Ia adalah masalah hukum yang nyata, konkret, dan memiliki konsekuensi yang serius.
Pada sejumlah kesempatan, saya memulai sesi sosialisasi dengan pertanyaan sederhana. Siapa yang pernah melihat perundungan di sekolah ini. Biasanya kelas langsung riuh.
Tidak ada yang berani mengangkat tangan sebagai pelaku. Namun hampir seluruh siswa mengakui bahwa mereka pernah melihat, mendengar, atau menjadi korban.
Ketika saya masuk ke pembahasan mengenai perundungan sebagai perbuatan melawan hukum, reaksi mereka hampir selalu sama.
Wajah-wajah yang berubah kaget, sebagian tidak percaya, sebagian lain saling berbisik seakan mereka baru saja menemukan bahwa apa yang mereka sebut candaan ternyata bisa membawa seseorang ke proses pidana.
Di sana saya menyadari bahwa ada sesuatu yang kita lewatkan. Mereka tidak sepenuhnya tahu bahwa perundungan, dalam berbagai bentuknya, bukan hanya tindakan yang tidak sopan atau masalah tata tertib sekolah. Ia merupakan pelanggaran hukum.
Dalam aturan pidana, beberapa bentuk perundungan bahkan telah diatur dengan ancaman hukuman yang tidak dapat dianggap remeh. Namun pengetahuan itu tidak akan hadir apabila hukum hanya menjadi teks yang dibacakan dan bukan pengalaman yang dipahami.
Pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak saya adalah mengapa jurang pemahaman itu begitu lebar. Mengapa anak-anak yang tumbuh di era digital, dengan akses informasi yang begitu mudah, justru gagal mengenali tanda bahaya dari tindakan yang mereka lakukan atau alami.
Jawabannya muncul perlahan dari pengalaman lapangan. Akar perundungan di sekolah kerap bersifat struktural. Ada pola-pola lama dalam kultur pendidikan Indonesia yang tidak pernah benar-benar dibongkar.
Relasi kuasa yang timpang antara senior dan junior. Normalisasi kekerasan verbal yang dianggap bagian dari proses penguatan mental.
Kebiasaan untuk melihat konflik antarsiswa sebagai urusan internal sekolah yang tidak perlu dibawa keluar pagar. Semua itu membentuk sistem yang membiarkan kekerasan tumbuh dengan baju yang tampak sopan.
Namun ada akar lain yang lebih tersembunyi. Ketidakhadiran literasi hukum dasar di lingkungan sekolah. Kita berbicara banyak tentang literasi numerasi, literasi digital, dan berbagai jenis literasi lain.
Tetapi kita lupa bahwa hidup bersama dalam ruang publik seperti sekolah memerlukan pemahaman mendasar mengenai hak, kewajiban, serta batasan hukum.
Ketika siswa tidak memiliki kerangka itu, mereka tumbuh dengan anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi di sekolah hanya urusan internal, seakan hukum berhenti bekerja ketika pintu gerbang sekolah tertutup.
Saya pernah menghadapi satu momen yang meninggalkan kesan mendalam. Seorang siswa bertanya dengan ragu: “Kalau saya hanya bercanda, tetapi teman saya tersinggung dan merasa tertekan, apakah itu termasuk perundungan?” Pertanyaan itu sederhana, tetapi sangat penting.
Ia menunjukkan betapa kaburnya batas antara candaan dan kekerasan di mata siswa. Ketika saya menjelaskan bahwa ukuran perundungan tidak hanya terletak pada niat tetapi juga pada dampaknya, seluruh kelas mendadak hening. Pada momen itu, mereka memahami bahwa konsekuensi tindakan tidak bisa lagi dianggap ringan.
Dalam obrolan lanjutan, terungkap hal yang lebih besar. Tidak sedikit siswa tidak berani melapor ketika menjadi korban. Ada rasa takut dilabeli sebagai tukang mengadu. Ada kekhawatiran dianggap tidak kuat mental.
Ada pula anggapan bahwa guru tidak akan percaya atau tidak akan memberikan tindakan apa pun. Semua ini menunjukkan bahwa ekosistem pendidikan belum sepenuhnya menyediakan ruang aman bagi siswa.
Jika dicermati lebih jauh, persoalan ini memiliki akar yang lebih dalam. Beberapa lembaga pendidikan belum mampu menempatkan hukum sebagai bagian dari ruang belajar.
Hukum dianggap terlalu jauh, terlalu asing, atau terlalu kaku. Padahal hukum hadir untuk melindungi warga negara yang paling rentan, termasuk para siswa.
Ketidakmampuan memahami posisi hukum membuat banyak sekolah tidak memiliki panduan atau prosedur penanganan perundungan yang memadai.
Bahkan ada sekolah yang memilih menyelesaikan masalah dengan mediasi damai tanpa terlebih dahulu memastikan apakah terdapat elemen pidana di dalamnya.
Dari pengalaman mengajar di banyak sekolah, saya menemukan bahwa siswa sebenarnya memiliki rasa keadilan yang cukup kuat. Mereka tahu mana tindakan yang melukai orang lain.
Namun tanpa pengetahuan yang memadai, mereka tidak tahu bagaimana menempatkan diri dalam situasi konflik. Mereka membutuhkan kerangka berpikir, bukan sekadar nasihat moral.
Pendidikan hukum dasar memiliki peran penting dalam konteks ini. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti siswa.
Tujuannya untuk memberikan alat agar mereka bisa memahami posisi diri. Bahwa mereka bukan hanya pelajar dalam arti administratif, tetapi juga subjek hukum yang dilindungi sekaligus dibatasi oleh aturan.
Perundungan adalah persoalan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan ajaran tentang kebaikan. Ia memerlukan pemahaman yang terstruktur tentang aturan, tanggung jawab, serta konsekuensi. Tanpa semua itu, sekolah hanya menjadi ruang yang tampak tertib di permukaan, tetapi menyembunyikan luka di dalamnya.
Dari perjalanan saya di Bekasi, saya belajar bahwa akar perundungan bukan hanya terletak pada perilaku individu. Ia tumbuh dari kultur, ketidaktahuan, dan ketidakmampuan kita menghadirkan hukum sebagai bagian yang hidup dalam ruang pendidikan.
Selama akar itu tidak dicabut, masalah ini tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia hanya akan berganti bentuk dan muncul kembali dalam waktu yang berbeda.