Di saat angka minat baca di Indonesia masih terbilang cukup rendah, dan akses terhadap buku masih menjadi kemewahan di banyak tempat, sebuah kampung di Yogyakarta justru menawarkan harapan yang hidup dalam tumpukan buku.
Dusun Kanoman, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, mungkin terdengar seperti kampung biasa. Tapi di sanalah sebuah upaya luar biasa untuk mencintai buku terus tumbuh, bahkan ketika krisis literasi melanda negeri ini.
Ketika Angka Meningkat, tapi Minat Tak Ikut Melesat
Melalui data terbaru dari Perpustakaan Nasional menunjukkan bahwa indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia meningkat dari 64,40 pada 2022 menjadi 73,52 di tahun 2024.
Begitu pula dengan Tingkat Gemar Membaca (TGM) nasional yang naik menjadi 72,44 dan dikategorikan “sedang”.
Namun di balik angka-angka tersebut, realitas di lapangan tetap menyisakan pekerjaan rumah besar. Laporan UNESCO mengungkapkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca secara aktif.
Dalam laporan PISA 2022, skor literasi membaca siswa Indonesia berada di angka 371, jauh di bawah rata-rata negara OECD.
Perpustakaan 24 Jam: Tak Perlu KTP, Tak Ada Batas Waktu
Di tengah statistik yang menyesakkan itu, secercah harapan muncul dari sebuah kampung di Yogyakarta. Di sebuah rumah kecil, Rumah Baca Komunitas (RBK) berdiri sejak 2012.
Didirikan oleh David Effendi, RBK bermula dari ide sederhana, “Bagaimana agar buku-buku yang ditinggal oleh para mahasiswa di kontrakan tidak hanya menjadi pajangan di rak, tapi bisa berputar dan bermanfaat bagi banyak orang.”
RBK menjadi ruang literasi yang hidup 24 jam. Di sini, tak ada sistem pinjam formal. Siapa pun boleh meminjam buku tanpa syarat.
Tidak perlu menunjukkan kartu identitas, tidak ada batas waktu pengembalian. Bahkan ketika buku tidak dikembalikan pun, itu dianggap bagian dari perjalanan buku tersebut menemukan pemilik sejatinya.
“Setiap orang berhak merdeka untuk membaca. Kalau buku yang dipinjam nggak kembali, berarti dia sudah menemukan ibu kandungnya,” ujar salah satu penggiat, Faiz.
Di Tengah Krisis, Mereka Menyalakan Cahaya
Di kala indeks minat baca nasional masih memprihatinkan, RBK justru menjadi contoh bahwa perubahan bisa datang dari ruang kecil, dari kampung, dari rumah biasa, dan dari satu buku.
Rumah Baca Komunitas mengingatkan kita bahwa membaca bukan sekadar rutinitas akademik, melainkan sebuah jalan menuju kesadaran, keberdayaan, dan kebebasan. Dari kebebasan itulah yang akhirnya menyuburkan harapan.
Di tempat ini, buku bukan benda mahal yang dikunci di rak kaca, melainkan teman terbuka untuk siapa saja.