Review Film The Thursday Murder Club: Aksi Detektif Lansia Mengupas Kasus

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film The Thursday Murder Club: Aksi Detektif Lansia Mengupas Kasus
Scene Film The Thursday Murder Club (Netflix)

Kadang kita suka lupa, masa tua itu bukan hanya soal kursi goyang dan hari-hari panjang yang tenang. Ada orang-orang yang di balik rambut putih dan wajah berkerutnya, masih punya rasa penasaran yang nggak kalah menyala dibanding anak muda.

Nah, bayangkan kalau orang-orang itu nggak sebatas ngobrol santai atau main kartu, tapi malah membentuk klub detektif amatir yang hobi mengulik kasus pembunuhan. Konyol? Agaknya sih, tapi itulah serunya Film The Thursday Murder Club yang diadaptasi dari novel karya Richard Osman yang akhirnya dibawa Netflix bersama Sutradara Chris Columbus.

Sinopsis Film The Thursday Murder Club

Tayang sejak 28 Agustus 2025, pusat ceritanya berada di Cooper’s Chase. Panti jompo megah itu dibangun di atas lahan bekas biara, tapi sekarang sudah jadi semacam resort untuk para pensiunan kelas atas. 

Dari luar kelihatannya adem banget. Ada taman luas buat jalan sore, ruang makan besar, sampai fasilitas puzzle room buat mengisi waktu luang. Namun, di balik ketenangan itu, siapa sangka muncul kisah kriminal yang bikin heboh.

Cerita dimulai ketika Tony Curran, salah satu pemilik lahan Coopers Chase, ditemukan tewas secara misterius. Bukan sekadar kematian biasa, tapi jelas-jelas ada jejak pembunuhan. Polisi datang, media mulai ramai, dan penghuni lansia di sana ikut gelisah. Di titik inilah kelompok kecil muncul, menamakan diri mereka The Thursday Murder Club.

Anggotanya unik-unik. Ada Elizabeth Best (Helen Mirren), perempuan yang kelihatannya tenang tapi punya masa lalu misterius. Nggak salah kalau dia jadi otaknya, karena cara berpikirnya tajam, penuh strategi, seolah-olah dia pernah terbiasa dengan intrik tingkat tinggi. 

Lalu ada Ron Ritchie (Pierce Brosnan), mantan aktivis serikat buruh yang keras kepala, nggak pernah mau kalah kalau lagi debat. 

Ibrahim Arif (Ben Kingsley) jadi semacam penyeimbang. Dia psikiater yang selalu melihat semua dengan logika dan ketenangan. 

Dan terakhir Joyce Meadowcroft (Celia Imrie), yang kelihatan paling polos tapi justru jadi jembatan antara penonton dan kelompok ini.

Mereka biasanya kumpul setiap hari Kamis untuk mengulik kasus-kasus lama yang belum terpecahkan. Nah, kali ini beda, bukan latihan atau nostalgia berteori. Kasus Tony Curran terjadi tepat di hadapan mereka, di lingkungan tempat mereka tinggal. 

Rasa penasaran bercampur keberanian membuat klub ini turun langsung menyelidiki, meski polisi resmi, lewat PC Donna De Freitas (Naomi Ackie), sebenarnya nggak terlalu menganggap serius usaha mereka.

Penyelidikan membawa mereka pada nama lain, termasuk Ian Ventham (David Tennant), partner bisnis Curran yang punya ambisi besar mengembangkan lahan Coopers Chase lebih jauh. Hubungan penuh intrik, ambisi properti, dan rahasia lama perlahan terkuak. Sementara itu, kehidupan pribadi para anggota klub juga ikut tersorot, seperti Elizabeth yang harus menghadapi kenyataan pahit soal suaminya, Stephen (Jonathan Pryce), yang mulai terseret dalam kabut demensia.

Dari ruang makan sampai taman belakang, dari berkas-berkas lama sampai percakapan ringan di bangku taman, para lansia ini menunjukkan bahwa umur nggak bisa jadi alasan buat berhenti penasaran. Mereka mungkin sudah menua, tapi semangat membongkar misteri membuat hari-hari mereka kembali menyala. 

Pertanyaannya, apakah dengan semua keterbatasan mereka bisa menemukan kebenaran sebelum pelaku menutup semua jejak? Tontonlah di Netflix!

Review Film The Thursday Murder Club 

Film ini nggak menjadikan usia mereka bahan lelucon lho. Nggak ada humor murahan soal tubuh lemah atau pikun. Sebaliknya, mereka ditampilkan tangguh dengan caranya masing-masing. Kalau ada yang lupa sesuatu, itu bukan untuk ditertawakan, tapi untuk menunjukkan sisi manusiawi mereka. 

Secara visual, film ini memang nggak menawarkan sesuatu yang wah. Sinematografinya sederhana, tapi jujur, aku nggak keberatan. Fokusnya jelas bukan di sana, melainkan di interaksi para karakter. Aku benar-benar menikmati saat mereka duduk bareng, mendiskusikan petunjuk, atau bahkan sebatas berdebat soal teori masing-masing. Chemistry keempat aktor senior ini jadi nyawa utama film.

Chris Columbus sendiri terasa tahu betul cara membiarkan tiap karakter bersinar. Dia nggak berusaha memaksa cerita jadi terlalu gelap atau menegangkan, tapi juga nggak menyepelekan misterinya. Dia seolah-olah ingin bilang, yang bikin kita bertahan nonton bukan semata-mata karena penasaran siapa pembunuhnya, tapi karena kita betah bersama orang-orang ini. Buatku, itu pilihan tepat.

Kalau ditanya apakah ini film sempurna? Nggak ya! Ada bagian yang ritmenya lambat, ada beberapa detail investigasi yang terasa kurang digali. Eh, tapi secara keseluruhan, Film The Thursday Murder Club berhasil memberi sesuatu yang jarang ada, yakni cerita kriminal yang segar dengan tokoh-tokoh lansia sebagai pahlawan utama.

Saat film berakhir, aku nggak merasa lagi nutup cerita. Rasanya lebih seperti baru kenalan dengan sekelompok teman baru yang ingin aku ikuti perjalanannya lebih jauh. Dan memang, Film The Thursday Murder Club terasa seperti awal dari sesuatu yang lebih panjang, apalagi dengan novel aslinya yang punya sekuel. Nggak sabar deh nunggu sekuelnya tayang! 

Skor: 3,5/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak