Sepatu Terakhir: Jejak Cinta Seorang Ayah yang Tak Pernah Usai

Sekar Anindyah Lamase | Miranda Nurislami Badarudin
Sepatu Terakhir: Jejak Cinta Seorang Ayah yang Tak Pernah Usai
Novel Sepatu Terakhir (Dok. Pribadi/Miranda)

Ada aroma kulit dan lem yang samar ketika Alin melangkah masuk ke bengkel sepatu milik ayahnya. Suara palu kecil yang dulu selalu menenangkan kini lenyap, digantikan keheningan yang aneh—seolah waktu berhenti di ruang itu. Di atas meja kayu tua, sepasang sepatu belum selesai mengisyaratkan sesuatu: bahwa cinta, kadang, memang tak selalu diucapkan. Ia dikerjakan. Dengan tangan, dengan kesabaran, dengan sepasang sepatu terakhir.

Novel Sepatu Terakhir karya Toni Tegar Sahidi tak sekadar berkisah tentang pengrajin sepatu di Blitar bernama Pak Marwan, tetapi tentang warisan nilai yang tak tampak—tentang bagaimana seorang ayah meninggalkan jejak hidupnya lewat karya sederhana. Ia bukan tokoh besar, bukan pengusaha kaya. Namun dari tangannya, lahir filosofi tentang hidup: bahwa setiap jahitan, setiap langkah, punya makna.

Sepatu sebagai Simbol Hidup

Yang membuat novel ini unik adalah penyimbolan sepatu bukan sekadar benda, melainkan representasi perjalanan manusia. Sepatu menjadi saksi langkah-langkah kehidupan: menapak, tersandung, bahkan berhenti. Ketika Pak Marwan memutuskan membuat sepatu terakhirnya, itu bukan tanda akhir karier, melainkan perenungan tentang makna hidup dan ketulusan dalam berkarya. Ia tahu setiap manusia akan berhenti melangkah, tapi jejak yang ditinggalkan—itulah yang abadi.

Toni Tegar Sahidi menulis dengan gaya lembut dan penuh empati. Ia tidak memaksa pembaca menangis, tetapi menghadirkan keharuan pelan-pelan. Seperti aroma kulit sepatu yang menempel lama di udara, cerita ini menyusup pelan ke dada pembaca—hangat, jujur, dan membekas.

Nilai yang Tak Pernah Usai

Di balik kisah sederhana ini, tersimpan pancaran nilai kemanusiaan yang mendalam. Sepatu Terakhir mengajarkan bahwa cinta orang tua tidak selalu hadir lewat pelukan atau kata-kata manis, melainkan lewat tindakan yang terus berulang dalam diam. Pak Marwan mencintai anaknya lewat kesetiaan pada pekerjaannya, lewat cara ia menjaga kualitas setiap sepatu, seolah setiap jahitan adalah doa bagi kehidupan orang lain.

Keikhlasan itu menjelma menjadi kekuatan yang menular. Ia bekerja bukan semata mencari uang, melainkan merawat martabat dan memberi arti pada setiap usaha kecil yang dilakukan dengan hati. Dari kisahnya, kita belajar bahwa keberhasilan sejati tidak selalu tentang pencapaian besar, tapi tentang warisan moral yang kita tinggalkan—tentang bagaimana hidup yang sederhana pun bisa menjadi sumber inspirasi, asal dijalani dengan cinta dan ketulusan.

Pak Marwan mengajarkan bahwa tangan yang kapalan pun bisa menulis sejarah, bukan di kertas, tapi di hati orang-orang yang merasakannya. Itulah nilai yang tak pernah usai, nilai yang membuat setiap langkah dalam hidup memiliki arti bahkan setelah sang pembuat langkah tak lagi berjalan.

Ketika Perpisahan Menjadi Pelajaran

Buku novel ini juga menyentuh sisi filosofis tentang perpisahan. “Sepatu terakhir” bukanlah akhir, melainkan simbol penyelesaian yang utuh. Seperti langkah terakhir seorang pejalan yang berhenti bukan karena lelah, tapi karena sudah sampai. Dalam setiap lekuk cerita, Toni mengajak pembaca untuk menafsirkan ulang makna kehilangan. Bahwa berpisah bukan berarti hilang—kadang justru di sanalah cinta paling tulus tumbuh.

Bahasa yang Lembut dan Latar yang Membumi

Keunikan lainnya ada pada gaya bahasa yang sederhana namun berlapis makna. Toni menggunakan diksi yang akrab, deskriptif, dan terasa nyata. Latar bengkel sepatu di desa Blitar tidak digambarkan megah, tapi hangat—mewakili denyut kehidupan masyarakat kecil yang jujur dan bekerja dengan hati. Dari tempat sederhana itulah, nilai besar tentang hidup bermula.

Penutup: Jejak yang Abadi

Setelah halaman terakhir ditutup, pembaca mungkin akan terdiam sebentar. Tidak ada adegan dramatis, tidak ada tangisan besar. Hanya rasa haru yang mengendap—karena kisah ini begitu manusiawi. Sepatu Terakhir adalah kisah tentang bagaimana cinta seorang ayah terus berjalan, bahkan ketika langkahnya berhenti.

Dan mungkin, di kehidupan kita sendiri, selalu ada “sepatu terakhir” yang sedang kita buat—sebuah karya kecil yang diam-diam menyimpan cinta.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak