Kepekaan Luar Biasa Film Pangku yang Terlalu Jujur, Tulus, dan Mendalam

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Kepekaan Luar Biasa Film Pangku yang Terlalu Jujur, Tulus, dan Mendalam
Foto Film Pangku (Instagram/gambargerakfilm)

Ada film-film yang hanya lewat begitu saja. Kita nonton, menikmati, lalu pulang tanpa bekas. Namun, ada juga film yang diam-diam merayap masuk, menempel di dada, dan masih terasa bahkan setelah kredit akhir bergulir. Film Pangku, debut penyutradaraan Reza Rahadian yang tayang 6 November 2025, termasuk kategori kedua.

Begitu kabar muncul bahwa Reza Rahadian akhirnya duduk di kursi sutradara, publik langsung bereaksi. Rasa penasaran itu melonjak ketika film ini world premiere di Busan International Film Festival (BIFF) 2025, lalu menambah gengsi lewat tujuh nominasi di Festival Film Indonesia (FFI).

Keren banget ya? 

Yuk, Kulik Bareng Kisah Fenomenal Ini!

Bagian dari Poster Film Pangku (Instagram/ gambargerakfilm)
Bagian dari Poster Film Pangku (Instagram/ gambargerakfilm)

Di tepian Pantura yang berangin dan berdebu, ada perempuan muda bernama Sartika (Claresta Taufan) datang dengan perut yang membuncit dan masa lalu yang nggak ingin dibicarakan. Dia hanya ingin satu hal, yakni tempat aman untuk melahirkan dan memulai lagi.

Langkahnya berhenti di sebuah warung kopi kecil yang dikelola Maya (Christine Hakim), perempuan paruh baya dengan mata teduh dan suara yang lembut. Dari cara Maya menyeduh kopi dan memanggil pelanggan, ada kehangatan yang membuat Sartika merasa, mungkin inilah rumah yang dia cari. Namun rumah itu, seperti halnya banyak tempat di dunia ini, punya sisi gelapnya sendiri.

Warung Kopi Pangku, itu bukan sekadar tempat berjualan minuman. Di balik asap rokok dan tawa lelaki yang datang silih berganti, ada bentuk lain dari kerja dan pengorbanan yang nggak pernah benar-benar diakui. Sartika perlahan menyadari, kebaikan Maya bukan tanpa harga. Dia diminta untuk bekerja di sana, menjadi bagian dari sistem yang selama ini ingin dia hindari.

Di tengah rasa takut dan keputusasaan, Sartika bertemu Hadi (Fedi Nuril), sopir truk pengangkut ikan yang hidupnya nggak kalah keras. Dari tatapan Hadi, Sartika menemukan sedikit harapan bahwa dunia ini masih menyisakan kelembutan, meski samar. Namun, jalan menuju kebebasan nggak pernah mudah. Pilihan-pilihan yang harus dia ambil nggak lagi soal benar atau salah, tapi tentang bertahan atau tenggelam.

Dalam kesunyian dan suara mesin truk, dalam aroma garam dan asap kopi, ‘Pangku’ menjadi kisah tentang tubuh, cinta, dan keberanian untuk hidup di antara luka.

Jleb banget deh kisahnya. 

Lalu Bagaimana dengan Performa Film Pangku?

Scene Film Pangku (Instagram/ filmpangku)
Scene Film Pangku (Instagram/ filmpangku)

Hal pertama yang terasa hidup dari film ini adalah napasnya. Kamera di tangan Reza bukan sekadar alat perekam, tapi semacam mata yang punya perasaan. Setiap pergerakan terasa penuh niat, membawaku makin dekat dengan karakter-karakternya.

Close-up yang diambil bukan cuma memperlihatkan wajah, tapi mengajakku membaca yang nggak terucap. Setiap detail di layar seperti ditata untuk membangun keintiman deh. 

Realisme film ini juga kuat lewat set produksi yang sangat detail. Pantura digambarkan tanpa polesan: pasar tradisional yang padat, tempat pelelangan ikan yang bising dan basah, truk besar yang melintas di jalanan, sampai rumah Maya yang sederhana tapi banyak kisah. Nggak ada ruang yang terasa dibuat-buat.

Pencahayaan pun dibuat senatural mungkin, mendukung suasana tanpa perlu menjadi ‘cantik’. Cahaya mentah yang jatuh di warung, lorong kampung yang temaram, pantai dengan langit mendung, semuanya menegaskan kejujuran film ini. Detail kecil seperti tumpukan barang, kursi reyot, atau warung yang sempit membuat dunia Pangku terasa hidup dan dekat sekali dengan keseharian masyarakat Pantura.

Secara cerita, ‘Pangku’ berdiri di atas fondasi yang kokoh. Reza Rahadian membangun alur dengan rapi tanpa harus menjelaskan segalanya. Penonton bisa menangkap konteks sosial dari siaran radio yang berseliweran, atau dari nominal uang yang dipakai bertransaksi. Detail kecil semacam ini memperlihatkan kecerdasan naratif yang subtil lho. 

Dan aku suka banget sama kejujuran dan kepekaannya. Reza nggak berusaha mempermanis kisah ibu pekerja keras, tapi juga nggak membungkusnya dalam melodrama murahan. Dia menampilkan perjuangan Maya apa adanya. Lelah, getir, tapi hangat.

Lalu datang plot twist yang muncul pelan, nggak mengagetkan memang, tapi menohok. Twist-nya memperluas makna perjalanan Maya, menambah kedalaman emosional film tanpa membuatnya kehilangan keseimbangan.

Salah satu keputusan paling berani dari Reza adalah meniadakan musik berlebihan. Di saat banyak film Indonesia memakai scoring untuk memandu emosi, film ini lebih banyak keheningan.

Reza seolah-olah ingin kita mendengar dunia Pantura apa adanya. Mulai dari suara angin, deru truk di kejauhan, riuh pasar, bahkan musik dangdut samar dari rumah hiburan malam. Semua itu membentuk orkestrasi kehidupan yang lebih jujur daripada scoring apa pun.

Dan hasilnya? Film ini terasa sangat hidup dan tulus. Sunyi bukan berarti kosong ya!

Salut banget! Film Pangku berhasil memotret perjuangan seorang ibu dengan kesederhanaan yang menyentuh, tanpa sensasi atau bumbu berlebihan. Bagiku, ini adalah film yang terlalu jujur untuk disebut manis, tapi terlalu hangat untuk disebut getir.

Buat Sobat Yoursay, jangan sampai nggak nonton film sebagus, setulus, dan sejujur ini ya! Selamat nonton.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak