Film horor sejarah psikologis yang di sutradarai Magnus von Horn, hadir dengan sinematografi hitam-putih yang memukau. Film asal Denmark ini tidak mengandalkan jumpscare atau darah berlebihan, melainkan membangun kengerian yang menusuk melalui penggambaran kesengsaraan pasca perang dunia I dan realitas mengerikan dari kasus kriminal sejati.
Berlatar Kopenhagen pada tahun 1919, kita diperkenalkan pada Karoline (Vic Carmen Sonne), seorang wanita muda kelas pekerja yang kehilangan pekerjaan dan terpaksa hidup tanpa harapan. Puncaknya, ia hamil dan ditinggalkan, membuatnya terperosot ke dalam jurang keputusasaan.
Saat mencoba melakukan aborsi sendiri secara ekstrem, Karoline bertemu dengan Dagmar Overbye (Trine Dyrholm), seorang pemilik toko manisan yang karismatik dan tampak baik hati.
Dagmar menjalankan apa yang ia sebut sebagai "agen adopsi bawah tanah," menawarkan solusi bagi para ibu yang tidak mampu atau tidak ingin merawat bayi mereka. Dagmar bahkan mempekerjakan Karoline sebagai ibu untuk bayi-bayi yang menunggu untuk diadopsi.
Bagi Karoline, ini adalah secercah harapan. Ia menemukan tempat berlindung, pekerjaan, dan bahkan hubungan emosional yang kuat dengan Dagmar. Namun, seiring waktu, Karoline mulai mencium gelagat aneh.
Perlahan, ia menyadari bahwa bayi-bayi yang dititipkan kepada Dagmar tidak benar-benar diadopsi. Di balik topeng kemurahan hati, Dagmar menyembunyikan rahasia gelap yang jauh lebih mengerikan, ia adalah pembunuh berantai bayi.
Kisah nyata Dagmar Overbye terjadi pada periode yang sama, yaitu setelah Perang Dunia I (1914–1918). Kejahatan Dagmar terungkap pada tahun 1920, dan penemuan mengerikan terjadi ketika polisi menyelidiki. Meskipun ia pada awalnya didakwa membunuh sembilan bayi, jaksa penuntut umum kemudian menduga bahwa jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, kemungkinan mencapai 16 hingga 25 bayi, yang mana jenazahnya sering kali dibakar atau disembunyikan.
Kengerian kasus Dagmar Overbye saat itu mengguncang seluruh Denmark dan memicu perdebatan publik besar-besaran mengenai kesejahteraan sosial, stigma terhadap kehamilan di luar nikah, dan kurangnya dukungan bagi perempuan di masa sulit.
Film ini dengan cerdik menggunakan latar belakang sejarah ini untuk tidak hanya menceritakan kisah kriminal, tetapi juga untuk memberikan komentar tajam tentang kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan kekejaman seperti itu terjadi.
"The Girl with the Needle" menggali lebih dalam ke atmosfer ketidakberdayaan yang mengelilingi Karoline, yang mewakili banyak wanita korban yang tak terlihat pada era tersebut, sehingga menambahkan lapisan kedalaman dan realisme yang brutal pada drama psikologisnya.
Daya tarik utama film ini terletak pada pendekatan sinematiknya yang unik. Keputusan untuk menggunakan hitam dan putih berkontras tinggi menciptakan atmosfer sureal. Sutradara Magnus von Horn berhasil membingkai Kopenhagen pasca perang sebagai tempat yang dingin, keras dan tanpa ampun.
Penggambaran visual yang suram dan penggunaan komposisi yang sering menempatkan Karoline sendirian di tengah bingkai gelap secara efektif menyampaikan rasa isolasi, ketidaknyamanan dan kecemasan yang mendalam. Musik dan desain suara yang minimalis namun efektif semakin menambah kengerian adegan.
Vic Carmen Sonne tampil luar biasa sebagai Karoline. Ia berhasil menggambarkan transisi Karoline dari seorang wanita korban yang rentan menjadi sosok yang semakin sinis dan berjuang untuk bertahan hidup, bahkan ketika harus membuat keputusan yang secara moral ambigu. Ekspresi wajahnya yang lelah dan putus asa menjadi pusat emosional film ini.
Trine Dyrholm sebagai Dagmar Overbye adalah sosok yang karismatik sekaligus menjijikkan. Ia menampilkan Dagmar bukan sebagai monster karikatural, melainkan sebagai sosok yang bisa menipu dan memikat wanita-wanita putus asa dengan kehangatan palsu, membuat pengungkapan kejahatannya menjadi semakin mengejutkan dan mengerikan.
The Girl with the Needle bukan film yang mudah ditonton. Ini adalah eksplorasi yang brutal mengenai ibu, kelangsungan hidup dan eksploitasi perempuan di masa krisis. Film ini menantang penonton untuk melihat bagaimana keputusasaan dan sistem yang gagal dapat mendorong seseorang ke tindakan ekstrem, baik sebagai korban maupun pelaku.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS