4 Film Korea Terbaik Tentang Bobroknya Pemerintahan Otoriter

M. Reza Sulaiman | Sandy Hermawan
4 Film Korea Terbaik Tentang Bobroknya Pemerintahan Otoriter
Asura: The City of Madness (IMDb)

Industri film Korea Selatan telah lama dikenal dengan keberaniannya dalam mengangkat isu-isu sosial dan politik yang sensitif, terutama sejarah kelam di bawah rezim otoriter. Film-film ini tidak hanya menyajikan drama yang intens, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya demokrasi dan kebebasan sipil.

Berikut adalah 4 film Korea terbaik yang akan membawa Anda menyelami intrik, kekejaman, dan perjuangan melawan pemerintahan yang korup dan diktator.

1. The Man Standing Next (2020)

The Man Standing Next (IMDb)
The Man Standing Next (IMDb)

Film ini merupakan political thriller yang diangkat dari kisah nyata, berlatar 40 hari menjelang pembunuhan Presiden Park Chung-hee pada tahun 1979, sebuah peristiwa yang menandai akhir dari masa kediktatoran 18 tahun.

Film ini menyoroti bagaimana Badan Intelijen Pusat Korea (KCIA) yang seharusnya menjaga keamanan negara justru menjadi mesin politik Presiden. Kita akan melihat intrik kotor, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan di antara para petinggi yang sibuk menyelamatkan diri dan ambisi mereka sendiri.

Dibintangi oleh Lee Byung-hun, film ini menyajikan ketegangan yang dingin dan mencekam. Ia menunjukkan bahwa bobroknya pemerintahan otoriter berakar dari lingkaran dalam kekuasaan itu sendiri, di mana kesetiaan dapat dengan mudah berubah menjadi hasrat untuk membunuh.

2. 1987: When the Day Comes (2017)

1987: When the Day Comes (IMDb)
1987: When the Day Comes (IMDb)

Film ini mengisahkan Gerakan Demokrasi Juni 1987, sebuah protes massa yang masif di Korea Selatan yang akhirnya berhasil menggulingkan rezim militer Presiden Chun Doo Hwan.

Kisah bermula dari kematian seorang mahasiswa aktivis, Park Jong-chul, yang disiksa hingga tewas saat diinterogasi oleh polisi anti-komunis. Pemerintah diktator berusaha mati-matian menutupi kasus ini dengan berbagai cara, termasuk memalsukan hasil autopsi dan mengancam media.

Film ini adalah tribut bagi para pahlawan tak terduga, mulai dari jaksa yang berani, jurnalis yang gigih, hingga sipir penjara dan mahasiswa biasa yang secara kolektif berjuang mengungkap kebenaran. Ia menggambarkan tirani yang menindas dan bagaimana kebenaran yang ditutup-tutupi pada akhirnya akan memicu perlawanan rakyat.

3. A Taxi Driver (2017)

Poster film A Taxi Driver (IMDb)
Poster film A Taxi Driver (IMDb)

Diadaptasi dari kisah nyata yang memilukan, film ini membawa kita ke Pemberontakan Gwangju tahun 1980, di mana ribuan warga sipil dan mahasiswa dibantai oleh militer.

Cerita disampaikan melalui sudut pandang seorang sopir taksi biasa, Kim Man-seob diperankan oleh Song Kang-ho, yang awalnya tidak peduli politik. Ia setuju membawa seorang jurnalis Jerman, Jürgen Hinzpeter, ke Gwangju. Di sana, ia menyaksikan langsung kebrutalan aparat militer yang menembaki warga sipil tanpa ampun, sementara pemerintah memutus komunikasi untuk membungkam tragedi tersebut.

Film A Taxi Driver adalah film yang sangat mengharukan dan kuat, menunjukkan bahwa pemerintahan otoriter tidak hanya bobrok di tingkat atas, tetapi juga secara brutal menargetkan rakyatnya sendiri untuk mempertahankan kekuasaan. Ini adalah testimoni visual tentang bagaimana orang biasa dipaksa menjadi pahlawan dalam menghadapi penindasan.

4. Asura: The City of Madness (2016)

Asura: The City of Madness (IMDb)
Asura: The City of Madness (IMDb)

Berbeda dari tiga film di atas yang berbasis sejarah, film ini menyajikan potret kekerasan ekstrem dan korupsi institusional yang mengakar kuat.

Film Asura: The City of Madness tidak lagi berbicara tentang diktator militer tunggal, melainkan tentang korupsi institusional yang telah mengakar dan menjamur ke setiap sudut kekuasaan. Film ini menggambarkan sebuah kota Annam yang sepenuhnya dikendalikan oleh Walikota Park Sung-bae yang kejam dan megaloman. Kekuatan politik Park bukan hanya didasarkan pada kekuasaan sah, tetapi pada jaringan kriminal yang terstruktur.

Batas antara polisi, politikus, dan organisasi kriminal telah runtuh. Polisi seperti Detektif Han Do-kyung dipaksa menjadi budak Walikota, melakukan pekerjaan kotor mulai dari intimidasi hingga pembunuhan.

Detektif Han Do-kyung terjebak di antara dua kekuatan iblis, Walikota Park Sung-bae yang mewakili otoritas politik yang sepenuhnya korup dan Jaksa Kim Cha-in yang ambisius dan sama-sama manipulatif, yang ingin menjatuhkan Park demi menaikkan kariernya sendiri. Setiap karakter yang bertahan dalam dunia ini harus menjadi predator yang lebih kejam, menunjukkan bagaimana korupsi politik secara sistematis merusak dan memutarbalikkan moralitas di setiap lapisan masyarakat, hingga kejujuran menjadi kelemahan fatal.

Film Korea ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menegaskan kembali bahwa perjuangan untuk pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab adalah sebuah warisan yang berkelanjutan dan menjadi pengingat abadi akan tingginya harga sebuah kebebasan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak