Review Film Pangku: Hadirkan Kejutan Hangat, Rapi, dan Tulus

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film Pangku: Hadirkan Kejutan Hangat, Rapi, dan Tulus
Poster film Pangku (IMDb)

Film Pangku, debut penyutradaraan Reza Rahadian yang dirilis pada 6 November 2025 di seluruh jaringan bioskop Indonesia, langsung menjadi sorotan penikmat sinema lokal.

Sebagai aktor papan atas yang kini beralih ke kursi sutradara, Reza membawa sentuhan personal yang mendalam dalam mengisahkan perjuangan seorang ibu tunggal di jalur Pantura.

Dengan durasi 104 menit, film ini bukan sekadar drama sosial, melainkan surat cinta Reza kepada sang ibu, yang terinspirasi dari fenomena "kopi pangku" layanan kopi di warung pinggir jalan yang sering kali melibatkan interaksi intim antara penjual wanita dan pelanggan pria truk.

Tayang mulai 6 November 2025, Pangku masih diputar di bioskop-bioskop besar seperti CGV, XXI, dan Cineplex hingga minggu-minggu mendatang.

Kalau kamu mencari jadwal terkini, cek aplikasi bioskop favoritmu ya atau bisa langsung on the spot ke lokasi—film ini layak ditonton di layar lebar  untuk merasakan nuansa Pantura yang autentik.

Sinopsis: Dari Perut yang Membesar hingga Warung Kopi di Tepi Pantura

Salah satu adegan di film Pangku (IMDb)
Salah satu adegan di film Pangku (IMDb)

Sinopsis film ini berpusat pada Sartika (diperankan apik oleh Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang hamil di luar nikah. Ditinggalkan oleh kekasihnya, ia memilih meninggalkan kota asalnya di Jawa Tengah dan menempuh perjalanan panjang ke Pantura, Jawa Barat.

Di sana, Sartika terjebak dalam dunia warung kopi pangku, di mana perempuan seperti dirinya bertahan hidup dengan menawarkan "pelayanan" ekstra untuk sopir truk lelah yang singgah.

Bukan hanya soal kelangsungan hidup, Pangku menggali lapisan emosional: bagaimana seorang ibu calon harus memilih antara martabat dan kebutuhan bayi yang akan lahir.

Tanpa spoiler, perjalanan Sartika penuh liku, dari keputusasaan hingga secercah harapan, yang membuat aku dan penonton lain ikut merenungkan harga pengorbanan seorang wanita.

Secara plot, Reza Rahadian membangun narasi dengan rapi dan tanpa pretensi. Alur liniernya mengalir lambat, tapi justru itu kekuatannya—memberi ruang bagi penonton untuk meresap realita pahit yang digambarkan.

Fenomena kopi pangku, yang sering kali disalahartikan sebagai prostitusi ringan, dieksplorasi bukan untuk sensasi, melainkan sebagai metafor ketahanan perempuan di masyarakat patriarkal.

Reza tidak menghakimi; ia hanya menyajikan fakta mentah, membuat film ini terasa seperti dokumenter fiksi yang jujur. Tema utamanya adalah maternitas di tengah kemiskinan: bagaimana seorang ibu rela "dipangku" demi anaknya, sambil bergulat dengan rasa malu dan trauma.

Ini bukan cerita heroik ala Hollywood; Pangku lebih mirip potret kehidupan nyata, di mana akhir bahagia pun terasa rapuh. Meskipun pacing-nya terlalu lambat di paruh pertama, tapi buatku, itu justru membangun empati yang mendalam, membuat klimaks emosional di akhir terasa mengharukan.

Review Film Pangku

Salah satu adegan di film Pangku (IMDb)
Salah satu adegan di film Pangku (IMDb)

Claresta Taufan, yang dikenal dari peran-peran pendukung sebelumnya, bersinar sebagai Sartika. Ekspresinya yang polos namun penuh luka—mata yang sering berkaca-kaca tanpa air mata berlebih—membuat karakternya relatable dan menyayat hati. Ia bukan pahlawan super, tapi wanita biasa yang belajar bertahan, dan Taufan menyampaikannya dengan nuansa halus yang alami.

Fedi Nuril sebagai salah satu tokoh pendukung (seorang sopir truk yang ambigu) menambahkan lapisan kompleksitas; chemistry-nya dengan Taufan terasa organik, tanpa paksaan romansa klise.

Reza sendiri muncul cameo singkat, tapi kehadirannya lebih terasa di balik layar—ia berhasil mengarahkan ensemble cast, termasuk aktor lokal Pantura, untuk menciptakan dialog yang autentik dan bebas dari jargon kota. Pemeran pendukung seperti ibu kos dan sesama penjual kopi juga solid, menambah kedalaman komunitas yang terpinggirkan.

Dari sisi teknis, Pangku unggul dalam sinematografi. Cinematographer (diduga melibatkan tim berpengalaman dari film Reza sebelumnya) menangkap esensi Pantura dengan indah sekaligus kasar: jalan raya berdebu di bawah terik matahari, warung reyot dengan neon berkedip, dan suara klakson truk yang menggema.

Penggunaan cahaya alami membuat adegan malam terasa claustrophobic, memperkuat rasa terjebak Sartika. Set produksi juga realistis—lokasi syuting asli di jalur Pantura memberikan tekstur hidup, bukan green screen murahan.

Sound design-nya minimalis tapi efektif: suara hujan deras saat konflik puncak, atau deru mesin truk yang seperti detak jantung gelisah.

Skor musik oleh komposer lokal berbasis etnis Jawa, dengan sentuhan gamelan yang melankolis, menambah lapisan budaya tanpa berlebihan. Editing-nya ketat, meski transisi antar adegan kadang terasa abrupt—mungkin sengaja untuk meniru irama kehidupan yang tak terduga.

Secara keseluruhan, Pangku adalah debut sutradara yang luar biasa dari Reza Rahadian. Ia tidak hanya membuktikan bakatnya sebagai storyteller, tapi juga kepekaannya terhadap isu gender dan kelas sosial di Indonesia.

Film ini terlalu tulus dan mendalam untuk diabaikan; ia mengajak kita bertanya: berapa harga yang harus dibayar perempuan untuk bertahan? Meski ada kekurangan seperti kurangnya subplot pendukung yang lebih kuat, kekuatannya ada pada kejujuran emosional yang jarang ditemui di sinema komersial.

Aku beri rating 8.5/10—sangat aku rekomendasikan untuk penonton dewasa yang siap terhantam realita. Tontonlah sekarang di bioskop, sebelum Pangku menjadi kenangan yang terlupakan di tengah hiruk-pikuk industri film. Ini bukan sekadar hiburan; ini cermin masyarakat kita yang perlu direnungkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak