Novel Senja di Sudut Rumah Sakit karya Queena menghadirkan kisah yang menyentuh, penuh luka, namun juga sarat harapan. Cerita ini berfokus pada perjuangan seorang remaja bernama Pandu Cakrawala, yang hidup dengan kondisi gagap sejak kecil.
Meski memiliki banyak keterbatasan dalam berbicara, Pandu justru dianugerahi bakat luar biasa—baik dalam seni lukis maupun bernyanyi. Melalui karakter Pandu, novel ini menggambarkan bagaimana seorang anak yang berbeda harus berjuang lebih keras hanya untuk mendapatkan ruang, kasih sayang, dan pengakuan di keluarganya sendiri.
Pandu digambarkan sebagai sosok pemuda berusia sembilan belas tahun yang sensitif, cerdas, namun terjebak dalam lingkungan keluarga yang tidak sepenuhnya menerima dirinya.
Sejak kecil, ia tumbuh dengan trauma penolakan karena ayahnya, Abraham Nugraha, seorang aktor terkenal, merasa malu dengan kondisi gagap Pandu.
Demi menjaga citra dan kariernya, Abraham memilih menyembunyikan keberadaan Pandu dari publik. Keputusan itu menjadi luka yang menumpuk dan membekas dalam diri Pandu, membuatnya merasa tidak pantas tampil, tidak layak bangga, dan tidak cukup baik di mata keluarganya.
Sementara itu, kakaknya, Panca Cakrawala, selalu ditonjolkan sebagai kebanggaan keluarga. Perbedaan perlakuan antara Panca dan Pandu menjadi gambaran jelas tentang bagaimana anak yang “tidak sesuai standar” kerap dipinggirkan. Panca sering dibawa ayahnya tampil di acara publik, disanjung, dan dijadikan simbol kesuksesan keluarga. Pandu, meski saudara kembarnya, harus berjuang sendiri di balik bayangan saudaranya.
Namun di balik luka itu, Queena memperlihatkan bahwa Pandu menyimpan cahaya yang tidak dimiliki siapa pun. Ketika melukis, ia mampu menciptakan karya mendalam yang penuh emosi.
Ketika bernyanyi, suara gagapnya menghilang—seperti ada keajaiban yang muncul ketika ia mengekspresikan dirinya melalui seni. Bakat inilah yang menjadi inti dari perjuangannya. Novel ini menunjukkan bagaimana bakat dapat menjadi jembatan penyembuhan, sekaligus senjata untuk melawan ketidakadilan yang dialaminya.
Hidup Pandu mulai berubah ketika ia bertemu dengan Dr. Arneyva Kaluna, seorang dokter yang tidak hanya menangani kondisi fisiknya, tetapi juga memahami beban psikologis yang ia pikul sejak kecil. Arneyva memperlakukan Pandu dengan empati, melihat potensinya, dan memberikan ruang untuk ia berkembang. Tokoh Arneyva memberi warna hangat dalam cerita—sosok yang menunjukkan bahwa dukungan dari satu orang saja bisa sangat berarti dalam perjalanan seseorang untuk bangkit.
Melalui interaksi Pandu dan Arneyva, novel ini menyorot pentingnya lingkungan yang aman bagi remaja untuk tumbuh. Arneyva menjadi tempat pertama di mana Pandu berani jujur tentang ketakutannya, kecewa terhadap ayahnya, dan keinginannya untuk diakui. Ia juga menjadi saksi bagaimana Pandu mulai memulihkan harga dirinya yang lama hilang karena penolakan keluarga.
Konflik utama dalam novel ini banyak berkisar pada hubungan Pandu dengan ayahnya. Abraham bukan sekadar tokoh antagonis, tetapi gambaran nyata tentang sosok orang tua yang terjebak dalam ambisi dan ketakutan akan opini publik. Ia mencintai anaknya, namun caranya salah.
Relasi mereka penuh ketegangan, namun juga menyiratkan harapan kecil bahwa perubahan masih mungkin terjadi. Pembaca dapat merasakan konflik batin Abraham—antara cinta dan ketakutan—yang membuatnya menjadi karakter kompleks.
Cerita semakin menguras emosi ketika penulis mengaitkan masa lalu Pandu dengan sosok ibunya. Ibu Pandu adalah satu-satunya orang yang memahami cara bicara, perasaan, dan kedalaman jiwanya. Kepergiannya membuat Pandu kehilangan “rumah” yang sesungguhnya.
Kenangan itu muncul dalam beberapa bagian cerita, menambah kedalaman emosional novel dan menjelaskan mengapa Pandu sering merasa sendirian di dunia.
Queena menulis novel ini dengan gaya yang komunikatif dan menyentuh. Banyak adegan yang membuat pembaca ikut merasakan sesaknya dada Pandu, getirnya perjuangan melawan gagap, dan perihnya menjadi anak yang dianggap tidak sempurna. Namun penulis tidak menenggelamkan pembaca dalam kesedihan saja. Ada momen-momen harapan, keberanian, dan tekad yang tumbuh perlahan dalam diri Pandu, membuat novel ini tidak hanya sedih, tetapi juga inspiratif.
Latar rumah sakit yang sering muncul dalam cerita menjadi simbol tempat penyembuhan, baik fisik maupun batin. Adegan-adegan di rumah sakit, terutama yang melibatkan Pandu dan Arneyva, menampilkan proses panjang yang harus ia lalui untuk memperbaiki dirinya.
Rumah sakit menjadi saksi perubahan Pandu, dari anak yang selalu takut berbicara, menjadi seseorang yang mulai berani menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.
Hubungan Pandu dan Panca juga menarik untuk diikuti. Meski awalnya tampak berat sebelah, penulis menunjukkan bahwa Panca pun memiliki luka dan tekanan sendiri. Perlahan, hubungan mereka berkembang menjadi lebih hangat. Ada bagian-bagian kecil yang menunjukkan bahwa saudara kandung, betapapun berbeda, tetap bisa menjadi sumber kekuatan satu sama lain.
Novel Senja di Sudut Rumah Sakit adalah karya yang memadukan luka, seni, keluarga, dan harapan. Kisah Pandu adalah gambaran anak-anak berbakat yang sering tidak terlihat karena terhalang ekspektasi keluarga maupun standar masyarakat. Namun melalui perjuangannya, novel ini memberi pesan bahwa setiap bakat layak dihargai, dan setiap anak berhak disayangi apa adanya.
Ulasan saya, novel ini sangat menyentuh karena memperlihatkan pergulatan batin seorang remaja yang hanya ingin diterima. Detail emosi Pandu digambarkan dengan kuat, membuat saya ikut merasakan perjuangannya dari awal sampai akhir.
Bagi saya, novel ini bukan hanya tentang luka keluarga, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menemukan kembali nilai dirinya. Novel ini sangat layak dibaca, terutama bagi pembaca yang menyukai kisah keluarga yang emosional dan penuh makna.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS