Di jagat horor Asia Tenggara, mitologi daerah kerap menjadi tambang emas yang memadukan unsur gaib dengan sindiran sosial yang menusuk. Ha Gom: The Darkness of the Soul (2025) karya sutradara Pongpat Wachirabunjong menjadi bukti nyata keberhasilan formula itu.
Film horor Thailand berdurasi 85 menit ini mengangkat legenda Ha Gom—arwah pemakan dosa dari folklor Isan—sebagai cermin kelam atas keserakahan manusia. Tayang perdana di Thailand pada 19 Juni 2025, karya ini jauh melampaui sekadar cerita hantu biasa; ini menyelami bagaimana nafsu dan ketamakan menggerogoti jiwa hingga membuat penonton terus gelisah bahkan setelah lampu bioskop menyala kembali. Meski hanya bertengger di angka 5.2 di IMDb, film ini dipuji karena atmosfernya yang sangat autentik, walau tak luput dari kritik atas jalan cerita yang kadang terasa klise.
Tema utama film ini adalah dualitas antara tradisi dan modernitas. Ha Gom, sebagai simbol kerakusan, mengkritik bagaimana globalisasi merusak komunitas pedesaan: tanah dijual demi keuntungan, nilai moral tergeser oleh nafsu material.
Ini mirip dengan Shutter (2004) atau Laddaland (2011), tapi dengan sentuhan folklor yang lebih autentik. Namun, kelemahan terbesar adalah plot twist akhir yang predictable—penonton yang akrab dengan trope "hantu sebagai metafor dosa" bisa menebaknya sejak paruh pertama. Selain itu, karakter wanita seperti Mae terasa stereotipikal sebagai "penyihir jahat", meski Sitthiworanang berusaha menyuntikkan nuansa empati.
Sinopsis: Kegelapan Jiwa yang Merayap dari Isan

Cerita dimulai di sebuah desa terpencil di Isan, wilayah Thailand Timur Laut yang kaya akan tradisi mistis. Tokoh utama, seorang pemuda bernama Thong (diperankan oleh Kunkanich Khumkrong), pulang dari kota setelah mendengar kabar kematian ayahnya yang misterius.
Kematian itu bukan kecelakaan biasa: ayahnya ditemukan dengan tubuh terkoyak, seolah dimangsa oleh sesuatu yang tak terlihat. Tak lama kemudian, sahabat Thong juga tewas dengan cara serupa, memicu paranoia yang membara.
Thong mulai curiga pada seorang wanita lokal bernama Mae (Chamaiporn Sitthiworanang), seorang janda yang dikenal sebagai dukun desa. Mae digambarkan sebagai sosok ambigu: ramah di permukaan, tapi mata hijaunya seolah menyimpan rahasia gelap. Thong yakin Mae dirasuki oleh Ha Gom, roh pemangsa yang legendaris, yang hanya muncul untuk mengeksploitasi kelemahan manusia—terutama kerakusan dan nafsu tak terkendali.
Pongpat Wachirabunjong, yang namanya melonjak berkat The Medium (2021), kembali menyutradarai dengan gaya khasnya: menceritakan kisah lewat sudut pandang Thong yang rapuh dan tak pernah sepenuhnya bisa dipercaya.
Lewat kilas balik yang menusuk, terkuak bahwa ayah Thong terjerat korupsi tanah desa, sedangkan Thong sendiri terbelenggu dosa kota—judi, selingkuh, dan rasa bersalah yang menggerogoti. Ha Gom di sini bukan hantu biasa yang melompat sambil teriak; ia hadir pelan sebagai bayang hitam di pinggir frame, atau bisikan lembut yang mengajak korban menyerah pada nafsu terdalamnya.
Puncaknya terjadi pada upacara malam di tengah desa, saat Thong berhadapan dengan Mae di bawah sinar bulan purnama—sebuah adegan yang membuat garis antara kenyataan dan halusinasi benar-benar lenyap, sekaligus memaksa penonton bertanya: apakah Ha Gom benar-benar ada di luar sana, atau hanya cermin dari kegelapan yang sudah lama bersemayam di dalam diri manusia.
Review Film Ha Gom: The Darkness of the Soul

Secara visual, film ini memukau lewat sinematografi yang menangkap jiwa Isan dengan sempurna: tanah merah yang retak, sawah, hijau padi yang meranggas, serta bayangan panjang pohon akasia yang seolah hidup sendiri.
Pongpat memilih palet earthy yang suram untuk mempertegas rasa terkurung dan terasing. Audio pun luar biasa—desau angin malam bercampur dentingan gamelan Isan yang di-distorsi hingga terdengar mencekam—menciptakan ketegangan tanpa perlu mengandalkan CGI berlebihan.
Dengan durasi hanya 85 menit, ritme film terasa tepat dan tak membuang waktu, menghindari jebakan pacing lambat yang sering menghinggapi horor Asia. Sayangnya, trailer-nya terlalu menyesatkan, membuat keseluruhan film terlihat seperti horor murahan era VHS.
Akting pendukung dari Worawit Chantasane (tetua desa) dan Yasaka Chaisorn (sahabat Thong) memberi bobot emosional, meski di paruh awal chemistry antara pemeran utama masih terasa kaku dan dingin.
Buat penggemar horor psikologis, Ha Gom: The Darkness of the Soul menawarkan pengalaman yang memuaskan, terutama dalam eksplorasi bagaimana ketakutan terbesar kita berasal dari dalam diri sendiri. Rating dariku: 7/10 kuat di atmosfer dan pesan moral, tapi kurang inovatif di narasi. Film ini mengingatkan bahwa di balik setiap hantu, ada cermin yang memantulkan kegelapan kita sendiri.
Film Ha Gom: The Darkness of the Soul mulai tayang di bioskop Indonesia sejak 26 November 2025, dan masih berlangsung hingga setidaknya 1 Desember 2025 di berbagai jaringan seperti CGV, XXI, dan Cinema 21. Film ini diputar di kota-kota besar seperti Jakarta (CGV Grand Indonesia, CGV Pacific Place, CGV Central Park), Tangerang, Bandung (CGV Paris Van Java), dan Yogyakarta. Harga tiket reguler sekitar Rp 51.000 hingga Rp 100.000, tergantung kelas dan lokasi. Pastikan cek situs resmi seperti cgv.id atau 21cineplex.com untuk update terbaru, karena jadwal bisa berubah.