Review Film Janur Ireng: Prekuel Sewu Dino yang Lebih Kelam dan Gore!

Lintang Siltya Utami | Ryan Farizzal
Review Film Janur Ireng: Prekuel Sewu Dino yang Lebih Kelam dan Gore!
Poster film Janur Ireng (IMDb)

Film Janur Ireng (2025) merupakan prekuel dari Sewu Dino (2023), yang menggali akar teror santet paling angker di tanah Jawa. Disutradarai oleh Kimo Stamboel dan diproduksi MD Pictures, film ini tayang perdana di bioskop Indonesia pada 24 Desember 2025.

Dengan durasi sekitar 94 menit dan rating D17+, Janur Ireng menawarkan pengalaman horor yang brutal, penuh darah, dan elemen tragedi keluarga. Film ini diadaptasi dari novel karya Simpleman, bagian dari trilogi mistis yang juga mencakup Sewu Dino dan Rogot Nyowo, yang terinspirasi dari kisah nyata dengan dramatisasi. Sebagai prekuel, ia berhasil memperluas semesta tanpa memerlukan penonton untuk menonton film sebelumnya, meski benang merahnya rapi dan memuaskan bagi penggemar.

Kakak Beradik Terjerat Kutukan Janur Ireng yang Mematikan

Salah satu adegan di film Janur Ireng (IMDb)
Salah satu adegan di film Janur Ireng (IMDb)

Sinopsis cerita berpusat pada kakak beradik, Sabdo (Marthino Lio) dan Intan (Nyimas Ratu Rafa), yang hidup sederhana di desa. Mereka dibesarkan dengan larangan ketat dari keluarga: jangan pernah bersatu, karena persatuan mereka akan melahirkan kekuatan tak tertandingi yang bisa menghancurkan garis keturunan.

Tragedi dimulai saat rumah orang tua mereka terbakar habis secara misterius, meninggalkan mereka dalam kemiskinan total. Dalam keputusasaan, mereka menerima bantuan dari paman mereka, Arjo Kuncoro (Tora Sudiro), seorang bangsawan kaya raya dari Trah Pitu Lakon.

Arjo membawa mereka ke rumah megah keluarganya, menjanjikan kehidupan aman dan berkecukupan. Akan tetapi, di balik kemewahan itu, tersembunyi niat gelap. Arjo menjadikan Sabdo dan Intan sebagai pion dalam rencana ambisius yang melibatkan ritual hitam dan perebutan kekuasaan.

Sabdo mulai merasakan kejanggalan: suasana rumah mencekam, teror muncul bertubi-tubi, seperti penampakan makhluk aneh yang dilihat Intan di kamarnya. Bisikan masa lalu mengungkap rahasia kelam keluarga Kuncoro, termasuk keberadaan Janur Ireng—santet tingkat tinggi yang mampu melenyapkan satu trah hingga tak bersisa.

Sabdo berpacu waktu untuk menyelamatkan adiknya, sambil terjerat dalam konflik berdarah yang menjadi fondasi peristiwa di Sewu Dino. Kisah juga menampilkan masa muda Sugik (Rio Dewanto), yang berperan krusial dalam konflik Trah Pitu Lakon.

Review Film Janur Ireng

Salah satu adegan di film Janur Ireng (IMDb)
Salah satu adegan di film Janur Ireng (IMDb)

Dari segi akting, para pemain tampil solid dan meyakinkan. Marthino Lio sebagai Sabdo berhasil menyampaikan konflik batin seorang kakak pelindung yang terjebak dalam pusaran horor, dengan ekspresi ketakutan dan tekad yang autentik.

Nyimas Ratu Rafa sebagai Intan memberikan nuansa polos namun rentan, membuat ikatan kakak-adik terasa emosional. Tora Sudiro, yang debut di genre horor, mencuri perhatian sebagai Arjo Kuncoro—seorang antagonis dingin, bengis, dan manipulatif. Transformasinya dari aktor komedi ke peran serius ini alami, terutama dalam adegan laga tanpa stuntman dan tarian aneh yang mengejutkan.

Pemeran pendukung seperti Masayu Anastasia (Lasmini), Karina Suwandhi (Karsa), Faradina Mufti (Gayatri), dan Epy Kusnandar (Anggodo) menambah kedalaman. Sayangnya, ini menjadi salah satu penampilan terakhir Epy Kusnandar sebelum wafat, menambah nilai sentimental. Rio Dewanto sebagai Sugik memberikan jembatan kuat ke semesta Sewu Dino, dengan akting yang intens.

Sutradara Kimo Stamboel, dikenal dengan gaya gore-nya, berhasil menciptakan atmosfer mencekam yang lebih kelam dari pendahulunya. Film ini penuh jumpscare brutal, semprotan darah, potongan tubuh, dan adegan sadis yang nyaris tanpa sensor—sejak menit awal hingga klimaks.

Kekerasan bukan sekadar sensasi, melainkan metafor kotornya tradisi turun-temurun dan pengkhianatan keluarga. Ritme cerita perlahan tapi menekan, fokus pada trauma psikologis sebelum ledakan horor. Tata artistik rumah Kuncoro digambarkan seperti entitas hidup: gelap, lembab, dan penuh bayangan, didukung musik latar mencekam, desain suara yang tajam, dan VFX solid tanpa terlihat murahan.

Elemen budaya Jawa kental, seperti ritual santet dan mitologi Trah Pitu, membuatnya terasa autentik dan membumi. Akhir cerita mengikat rapi, dengan twist yang menghubungkan ke Sewu Dino dan meninggalkan aftertaste pahit tentang dendam abadi.

Kekuatan utama Janur Ireng adalah keberaniannya mengeksplorasi horor tragedi dengan akar budaya, membuatnya lebih dari sekadar film hantu biasa. Gore-nya bermakna, memperkuat tema ambisi gelap dan kutukan keluarga.

Performa aktor, terutama Tora Sudiro, menjadi highlight, sementara perluasan mitologi semesta ini kokoh untuk sekuel potensial. Tapi, kelemahannya terletak pada intensitas gore yang mungkin terlalu ekstrem bagi penonton lemah jantung atau sensitif terhadap kekerasan—bukan untuk semua kalangan.

Beberapa jumpscare terasa prediktabel, dan ritme lambat di awal membuatku bosan sebelum klimaks. Secara keseluruhan, film ini layak ditonton di layar lebar untuk penggemar horor gore dengan cerita kuat, terutama di musim libur Natal yang kontras dengan tema gelapnya.

Rating dariku: 8.5/10. Janur Ireng bukan hanya prekuel, tapi fondasi baru yang lebih gore dan emosional, mengingatkan bahwa teror sejati lahir dari dendam manusia. Kalau kamu penggemar Sewu Dino, ini wajib tonton; jika tidak, siapkan mental untuk pengalaman mencekam yang meninggalkan bekas!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak