Tiada yang lebih dicintai Erwin selain tidur. Nikmat dunia ini adalah tentang tidur. Tidur adalah berkah, tidur adalah kegiatan yang paling ia syukuri. Pernah ia berpikir, bagaimana kalau di dunia yang ramai dan sesak ini, Tuhan tidak menciptakan tidur? Wah, baru membayangkannya saja, tubuh Erwin menggigil. Takut ia, takut sekali jika hal semengerikan itu bakal terjadi di masa depan.
Semua masalah akan menjadi lebih ringan dengan adanya tidur. Bukan tiba-tiba menjadi selesai, tetapi kalau disertai tidur, Erwin merasa 85% masalahnya sudah teratasi. Ketika sang ibu menikah lagi, ia tidur selama hampir lima belas jam. Kemudian setelahnya, ia merasa jadi lebih baik. Ia merasa terlahir kembali dan siap menghadapi tantangan apa pun di muka bumi ini, termasuk merasa bisa menang jika duel satu lawan satu dengan bapak tirinya yang menurutnya sangat galak.
Tidak selesai sampai di sana, tidur juga menjadi solusi terbaik kala Erwin dikhianati teman terbaiknya. Pada saat itu, Gunawan, sahabatnya di kampus, menipunya dengan iming-iming investasi. Nyatanya, uangnya tak pernah kembali sepeser pun. Tak mau susah, Erwin memilih tidur dibandingkan lapor polisi. Sesekali, ia juga mengutuk kebodohannya yang mudah percaya dengan kalimat-kalimat Gunawan. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, semua kata-kata Gunawan soal investasi tersebut sangatlah tidak masuk akal. Mana mungkin bisa dapat uang jutaan dalam waktu singkat hanya dengan modal ratusan ribu?
Ya, dengan tidur, Erwin menjadi lebih merasa rela. Bagusnya lagi, sepanjang hidup, ia tak pernah mengalami mimpi buruk. Jadi, sungguh tak ada cacat barang sedikit pun terkait kenikmatan tidur di dalam benak Erwin. Satu-satunya kesempurnaan dalam hidupnya, ya, tidur.
Namun, kecintaan Erwin terhadap tidur rupanya menjadi sesuatu yang mengganggu bagi tetangganya yang bernama Jeremy. Seusia dengan Erwin, Jeremy adalah manusia tengil yang selalu mengolok-olok kebiasaan tidur lama Erwin. Kalau Erwin baru pulang kuliah dan kebetulan Jeremy sedang duduk-duduk di beranda rumahnya, ia pasti bicara begini, “Janganlah tidur terus, Win. Ibu dan bapakmu tak ada di rumah. Kasihan tukang paket yang antar barang pesananmu.”
Erwin hanya tersenyum sebab soal itu seharusnya tak jadi masalah. Ia tak pernah pakai fitur bayar di tempat dan sudah kenal dengan kurir yang biasa mengantarkan pesanannya. Kurir itu akan meletakkan paket ke tempat yang sudah disediakan dan tentunya tak akan rugi apa pun.
Erwin selalu memandang keluhan Jeremy sebagai sesuatu yang biasa. Apa pun yang ia katakan, Erwin tak pernah pedulikan. Mungkin karena itulah, pagi tadi, Jeremy malah semakin gencar mengganggunya. Erwin tahu kalau Jeremy hanya ingin membuatnya kesal. Sulit baginya berpikir positif kalau menyangkut tetangga yang satu itu.
“Win, malam ini, antar aku ketemu kawan yang mau jual hape. Tapi pakai motormu, ya. Motorku kebetulan sedang di bengkel.”
“Pakai saja motorku, tapi aku tak bisa antar.”
“Aduh, tidak bisa, Win. Aku susah kalau pakai motor orang lain. Beda dengan motorku. Bagaimana kalau nanti nabrak? Kan repot.”
Erwin tak bisa menolak. Ia tak suka berdebat dan tak suka hal-hal ribet. Mengorbankan sebagian waktu tidurnya tentu bukan hal yang mudah, tetapi daripada ia harus berhadapan dengan masalah yang mungkin akan timbul jika tak mengiyakan keinginan Jeremy, tentu itu adalah pilihan terbaik.
Malam harinya, Erwin dan Jeremy pergi ke kafe tempat transaksi jual beli ponsel bekas akan dilangsungkan. Sementara Jeremy sedang berbicara dengan kawannya, Erwin hanya diam sembari melihat-lihat sekitar. Lalu, pandangannya mengarah kepada seorang perempuan yang rasa-rasanya pernah ia lihat. Namun, ia lupa tepatnya di mana.
“Kenapa, Win? Suka? Anaknya Pak Sulis itu.”
“Oh, iya,” ucap Erwin, seakan tak begitu peduli.
“Maklum kalau kau tak tahu, Win. Kerjaanmu tidur terus. Jangankan soal gadis paling cantik di kampung, ada maling yang ditangkap ramai-ramai semalam saja, aku yakin kau bahkan tak sadar.”
Sepakat. Erwin tak akan menyangkal mengenai hal tersebut. Beberapa kali, ia bahkan sering ketinggalan soal kejadian heboh yang berlangsung saat ia sedang tidur. Parahnya, dua tahun lalu, ia juga pernah tidak tahu kalau beberapa meter dari rumahnya sedang terjadi kebakaran. Untungnya ia masih diberi keselamatan.
Sepulangnya dari menemani Jeremy, Erwin hendak memanfaatkan waktunya yang sudah berkurang banyak itu untuk tidur, seperti yang biasa ia lakukan. Namun, baru akan terpejam, wajah anak gadis Pak Sulis tiba-tiba berlalu-lalang di dalam kepalanya. Seketika mata Erwin pun kembali terbuka. Untuk pertama kali, setelah sekian lama, ia menemui masalah semacam itu. Sulit tidur. Alasannya pun agak tidak masuk akal.
Kalau dipikir-pikir, selama ini, ia memang tak pernah jatuh cinta. Cinta menjadi sesuatu yang aneh di rumah tempat ia tinggal. Bapak kandungnya dulu sangatlah setia, tetapi ibunya berselingkuh, sampai akhirnya menikah lagi dan bapak pindah ke luar pulau. Ibunya tak ingin Erwin ikut bapaknya, tetapi di sisi lain, ibunya itu bahkan jarang berada di rumah karena harus ikut ke mana pun bapak tirinya pergi.
Sudah dua jam berlalu, Erwin masih belum terpejam. Ia meraba dadanya, merasakan detak yang tak biasa kala mengingat wajah anak Pak Sulis. Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa ia memang betulan jatuh cinta, tapi kalau bukan, lalu apa?
Keesokan paginya, karena takut malam nanti susah tidur lagi, Erwin memberanikan diri untuk memastikan perasaannya. Berbeda dari kebiasaannya, ia mengajak Jeremy lari pagi berkeliling kompleks. Jeremy merasa heran, tetapi ia menurut saja. Toh, ia memang sudah sering lari pagi bersama kawan-kawannya yang lain.
Melewati rumah Pak Sulis, langkah Erwin melambat. Sebagai sesama pria, Jeremy langsung memahami gelagat aneh Erwin yang celingak-celinguk ke sekitar rumah Pak Sulis itu.
“Rupanya ini alasanmu, Win. Cemen sekali. Kalau memang mau, langsung saja ajak kenalan.”
Erwin cepat-cepat menggeleng. Ia tak akan pernah menjadi senekat itu. Namun, belum ada sepuluh detik, Jeremy sudah menarik tangan Erwin dan menyapa Pak Sulis yang tengah menyiram bambu hoki di halaman rumahnya.
“Pagi, Pak. Wah, bagus sekali tanaman hiasnya. Jangan disiram sering-sering yang kayak begitu, mah, ya.”
Pak Sulis tersenyum, tampaknya ia terkesan dengan kalimat Jeremy. “Betul, memang ini sudah semingguan, lupa disiram. Oh, siapa ini? Teman barumu?”
Jeremy tertawa. “Pak Sulis kok lupa, ini anaknya Pak Dudi, lho.”
“Wah, iya-iya. Ke mana aja, Win? Erwin, kan, namanya?”
Erwin mengangguk.
“Bagus-bagus, memang anak muda harus rajin olahraga. Mau mampir dulu? Nanti aku suruh anakku bikinkan teh.”
Jeremy tersenyum, merasa punya celah untuk bertanya soal anaknya Pak Sulis. “Ah, gak usah, Pak. Oh iya, anaknya Bapak mau di sini berapa lama? Biar nanti gabung sama kelompok pemuda-pemudi sini, biar tambah banyak anggotanya.”
“Oh, tak perlu. Soalnya tak akan lama. Sebentar lagi juga diboyong suaminya. Dua minggu lagi mau menikah.”
Senyum Jeremy pudar. Begitu pula dengan Erwin yang perlahan merasa tak nyaman, sehingga setelah kalimat Pak Sulis itu, mereka pun berpamitan dan kembali berlari menuju pulang. Berlari lebih kencang dibandingkan saat mereka berangkat tadi.
Pada malam-malam berikutnya, Erwin kira tidur akan kembali membuat masalahnya menjadi lebih ringan. Namun, kali ini tidak. Bukan hanya karena anaknya Pak Sulis yang ternyata sudah akan menikah, melainkan juga karena ia benci terhadap dirinya yang bisa patah hati semudah itu.
Jadilah Erwin memutuskan untuk mengubah jam tidurnya menjadi membaca buku, menonton film, dan belajar. Seringnya ketika sedang berada di kampus, ia akan menguap lebar-lebar. Kantuk hebat menyerang, tetapi beruntung tak pernah benar-benar membuatnya ketiduran saat pelajaran masih berlangsung.
Saat dua minggu telah berlalu, Jeremy mengajak Erwin menghadiri pernikahan anak Pak Sulis. Meskipun berat, tetapi Erwin tidak menolak. Ia mengamati beberapa hal di pernikahan itu dan rasanya tak ada yang benar-benar menarik. Ia bahkan melewatkan kesempatan bersalaman dengan kedua mempelai. Jeremy juga sama. Ia malah sibuk makan.
“Nih," ucap Jeremy sembari menyodorkan piring kecil berisi siomay.
“Aku gak minta ini,” ucap Erwin.
“Kekenyangan aku. Makan saja. Nanti kita pulang.” Erwin lagi dan lagi, tak berupaya menolak.
Sepulangnya dari acara pernikahan, Erwin merasa sedikit lebih lega. Ia menatap jam dinding mati di kamarnya, lalu membayangkan jarum jam itu mulai berdetak kembali. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas. Erwin lalu melanjutkan hitungannya di dalam mimpi.
Terbangun dengan tubuh yang segar karena akhirnya berhasil tidur tanpa ada sedikit pun gangguan, Erwin melakukan perayaan kecil dengan memutar lagu favorit. Ia membuka jendela, dan hawa sejuk khas pagi hari menyentuh wajahnya segera. Di seberang sana, tampak Jeremy yang terlihat ogah-ogahan memasukkan motornya ke dalam rumah. Suara ibu Jeremy yang marah-marah sedikit tersamarkan oleh musik, tetapi cukup membuat Erwin tertawa. Ia menduga-duga, mungkin Jeremy lupa mengamankan motornya semalaman atau temannya itu justru baru saja pulang usai menghadiri sebuah pesta?
Beberapa saat kemudian, Erwin beranjak ke dapur. Ia mengambil cangkir, menyeduh teh, memasukkan satu sendok gula, dan merasa sangat siap menjalani hari. Ia akan habiskan tehnya, berangkat ke kampus, belajar dengan giat, lalu pulang, dan kembali memeluk rutinitas yang paling ia cintai dengan sepenuh hati: tidur.
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Pasang Surut Hidup Nelayan: Catatan dari Pesisir yang Jarang Didengar
-
5 Zodiak yang Terlalu Sering Mengalami Patah Hati, Ada Punyamu?
-
Miliki CV Lebih Apik Ketimbang Kluivert, Saatnya Pendukung Garuda Optimis dengan John Herdman?
-
4 Moisturizer Lokal Shea Butter Atasi Kulit Kering dan Perkuat Skin Barrier
-
Clean Look Maksimal! 5 Inspirasi Outfit Nuansa Putih ala Park Seo Joon