Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Julia Prastini (Instagram/ @juliaprt7)
Thedora Telaubun

Setelah isu perselingkuhan yang menyeret namanya, Julia Prastini atau biasa dikenal Jule, akhirnya buka suara. Bukan lewat video klarifikasi yang penuh air mata, melainkan lewat sebuah catatan di Instagram pribadinya: tanpa suara, tanpa ekspresi, hanya kata-kata.

Dalam catatan itu, Jule menulis permintaan maaf kepada keluarga, publik, dan pihak-pihak yang terdampak.

“Saya menyadari tindakan saya membawa dampak besar, bukan hanya bagi keluarga, tapi juga rekan kerja dan brand yang telah mempercayai saya,” tulis Jule di akun Instagram-nya, dikutip dari Suara.com (27/10/2025).

Nada tulisannya tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi sehangat ini. Tak ada luapan emosi, tak ada kata yang menunjukkan penyesalan mendalam terhadap suaminya. Justru, sorotan publik datang pada bagaimana ia lebih sering menyebut brand daripada suaminya sendiri.

Seperti diberitakan Suara.com di artikel lain, warganet menilai Jule “lebih takut kehilangan job ketimbang kehilangan pasangan.” Nada formal dan pilihan katanya yang hati-hati justru dianggap seperti damage control: bukan klarifikasi penuh perasaan.

Dari sisi komunikasi, gaya Jule bisa dibaca sebagai bentuk pesan terkendali (controlled message). Ia menulis seolah menyusun press release: netral, sopan, dan aman. Barangkali ia ingin menjaga citra profesional, tapi efeknya justru berbalik: pesan itu terasa dingin dan tidak sesuai dengan situasi yang terjadi.

Dalam dunia influencer, setiap kata memang bisa bernilai. Tapi ketika klarifikasi terasa seperti memo kerja, publik sulit menemukan ketulusan di balik kata-kata yang terlalu rapi.

“Ia seperti sedang melindungi kontrak, bukan hubungan,” komentar salah satu warganet yang dikutip Suara.com.

Pada akhirnya, Jule mungkin hanya berusaha meredam badai dengan tenang. Tapi di mata publik, ketenangan itu dibaca lain: bukan karena kuat menahan emosi, melainkan karena takut kehilangan panggung.

Di era di mana klarifikasi sudah menjadi panggung tersendiri, publik rupanya masih menunggu satu hal sederhana: permintaan maaf yang terdengar lebih manusia daripada strategi komunikasi.

Mungkin cara Jule memilih diam dan menulis adalah bentuk tenangnya sendiri. Tapi di tengah hiruk-pikuk komentar publik, kita bisa bertanya pelan: seberapa penting kejujuran terdengar tulus, bukan sekadar tertulis rapi?