Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi new normal (shutterstock)

Indonesia saat ini sedang memasuki fase melawan adanya virus pandemi Covid-19 atau yang sering disebut corona. Virus pandemi ini telah memasuki wilayah Indonesia sejak awal bulan Maret hingga sejauh tulisan ini dimuat tercatat kurang lebih 484.000 kasus yang terpapar virus Covid-19 dan 15.600 yang telah meninggal dunia sementara yang dinyatakan sembuh sebanyak 407.000 orang.

Belum lagi dalam dua hari lalu angka kasus yang terpapar virus Covid-19 menaik di atas 2.000 kasus dalam waktu sehari, tentu hal ini tidaklah mengejutkan sebab persebaran virus ini begitu cepat dan mudah menyerang setiap masyarakat terkhusus lanjut usia di atas 50 tahun yang rentan terjangkit virus corona ini.

Dari beberapa angka ini seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah terhadap penanganan virus corona serta hal ini menunjukkan bahwa lambannya kinerja pemerintah dalam mengatasi kasus pandemi yang telah mewabah ke wilayah Indonesia.            

Dalam penanganan yang diberikan guna mennaggulangi mewabahnya virus Covid-19 ini perlu adanya sebuah ketegasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan guna memutus tali rantai persebaran yang begitu cepat mewabah ke seluruh wilayah Indonesia.

Seyogianya pemerintah pusat dalam mengambil keputusan atas suatu kebijakan dengan perlu mengkaji dan pertimbangan secara bersama dengan pemerintah daerah. Maka, lahirlah solusi bersama yang menghasilkan pemantapan suatu kebijakan.

Namun, realitanya pemerintah pusat sebagai instansi tertinggi tidak memiliki inisiatif dalam mengajak untuk duduk bersama dan mengkaji mengenai permasalahan virus Covid-19 ini. Hierarki yang tinggi menganggap setiap instruksi yang diberikan olehnya akan selalu dituruti oleh pemerintah daerah nyatanya di sisi lain pemerintah daerah juga memiliki hak otonomnya.

Sehingga hal ini dirasa perlu adanya membangun komunikasi yang terjalin baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah agar nantinya permaslahan yang terjadi di pusat dan daerah mampu teratasi dengan baik serta tidak menciptakan kebijakan yang tumpang tindih dan silang pendapat antara pelaksana kebijakan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Chester Barnard yang menyatakan bahwa eksistensi suatu organisasi sebagai suatu system kerja sama bergantung pada kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan kemauan untuk bekerja sama mencapai tujuan yang sama pula.

Menurut pandangan penulis mengenai langkah kebijakan Presiden Jokowi yang tidak memberlakukan kebijakan lockdown dengan mengganti nama menjadi PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar, upaya ini diberikan agar tidak ada efek kejut yang dirasakan kepada masyarakat terhadap hasil keputusan yang  telah dihasilkan dalam menangani virus Covid-19 di tengah pandemi.

Sebab apabila di terapkan kebijakan lockdown terdapat beberapa risiko yang akan terjadi di antaranya; pertama, akan berdampak pada terganggunya stabilitas perekonomian di Indonesia dan di berbagai daerah, hal ini akan menambah angka kemiskinan sehingga ekonomi akan terpuruk.

Kedua, akan terganggunya stabilitas politik, sebab hal ini tentunya akan memberikan ancaman yang besar untuk membuat keos melalui perekonomian dan akan adanya ancaman kudeta yang di lakukan oleh oknum-oknum yang mengambil keuntungan untuk menginginkan Presiden Jokowi lengser.

Ketiga, kebutuhan pangan juga perlu di perhatikan dalam mengambil keputusan kebijakan lockdown, apabila kebijakan tersebut diterapkan akan banyak kebutuhan pangan yang diperlukan dalam beberapa waktu ke depan dan jika tidak tercukupi akan banyak masyarakat yang mengalami kelaparan, sehingga masyarakat tidak terancam oleh virus saja tetapi juga akan terancam kelaparan.

Indonesia saat ini belum siap apabila kebijakan lockdown dilakukan, sebab kesiapan kebutuhan pangan masih minim dan hal ini akan menimbulkan efek panic buying sehingga masyarakat banyak beramai-ramai untuk menimbun makan untuk persediaan kebutuhan.

Seyogianya, kalau pun memang akan diterapkan kebijakan lockdown, lockdown seperti apa yang di dinginkan setiap daerah tentunya pasti berbeda-beda. Kemungkinan besar lockdown yang dilakukan adanya pembatasan arus jalan keluar masuk ke setiap daerah dengan waktu-waktu tertentu, serta melakukan pendataan dan karantina terhadap pendatang di setiap daerah guna mencegah mewabahnya virus Covid-19.

Sebelumnya, pemerintah telah menghimbau untuk selalu menjaga kebersihan dan diam dirumahguna mencegah penyebaran virus ini. Menghadapi virus ini tak perlu panik tetapi harus tetap waspada, saat ini pemerintah sedang bergerak secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Selain itu, peran birokrasi pemerintah sangat dibutuhkan untuk melakukan berbagai koordinasi dan menyiapkan berbagai strategi dalam penanganan Covid-19 ini. Sebab dengan melalui birokrasi inilah Negara dan pemerintah mampu hadir di tengah pandemi untuk melindungi masyarakatnya dan melakukan strategi kerja-kerja yang optimal guna mengurangi dampak terburuk di tengah pandemi.

Harapannya masyarakat terhadap kinerja pemerintah bahwa di tengah pandemi ini birokrasi mampu berjalan dengan baik sesuai dengan tupoksinya masing-masing.

Kekhawatiran yang terjadi saat ini adanya politisasi birokrasi yang dilakukan dilingkungan pemerintahan yaitu keterikatan antara birokrasi dengan partai politik, bahayanya kebutuhan masyarakat di tengah pandemi sangat besar dan apabila birokrasi telah di politisasi dengan berbagai macam kepentingan oleh para pejabat yang berasal dari parpol misalnya.

Hal ini akan berpotensi untuk mengambil keuntungan pribadi serta sangat rawan tugas dan fungsi birokrasi dijalankan atas dasar kepentingan sekelompok elit-elit politik sehingga melupakan atas dasar kepentingan public yang lebih luas.

Maka peran kita sebagai masyarakat saat ini juga ikut serta berpartisipasi aktif dalam memantau kinerja birokrasi agar peluang untuk melakukan politisasi birokrasi di tengah pandemi ini tidak terjadi.   

Baca Juga