Akhir-akhir ini seluruh jagad media heboh dengan kehadiran Vaksin Nusantara yang digagas Mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Seakan menjadi dewa penyelamat bangsa dalam menghadapi pandemi tak kunjung usai setahun lebih lamanya. Publik pun dibuat terheran-heran dengan kemunculan Vaksin Nusantara bak secepat kilat.
Ramai-ramai para politisi menggembar-gemborkan kehadiran Vaksin Nusantara dengan jargon Karya Anak Bangsa. Bahkan media arus utama mengamplifikasi euforia tentang Vaksin Nusantara tanpa menggali kedalaman informasi secara kritis.
Dengan kepercayaan diri yang saat tinggi, ramai-ramai para Anggota DPR menjadi relawan Vaksin Nusantara dan mereka mengklaim bahwa Indonesia sudah mampu memproduksi vaksin secara tanpa perlu impor vaksin dari luar negeri.
Tak pelak Vaksin Nusantara yang selama digembar-gemborkan hanyalah jargon politis tanpa melewati prosedur pegujian secara klinis yang ditetapkan oleh standar BPOM.
Sudah terlihat bahwa Vaksin Nusantara hanyalah produk politisasi dari para elit-elit yang berkepentingan dalam Vaksin Nusantara tanpa pertanggungjawaban secara ilmiah. Mencium adanya sesuatu yang janggal pada Vaksin Nusantara, BPOM akhirnya tidak merekomendasikan penggunaan Vaksin Nusantara.
Disinilah perlu sikap kritis terhadap produk medis yang dikembangkan secara tiba-tiba tanpa melalui prosedur uji klinis, sehingga tidak hanyut dalam euforia Vaksin Nusantara. Ramai-ramai epidemiolog juga mengkritisi soal Vaksin Nusantara, yang entah tiba-tiba datang begitu saja.
Tentunya mereka mengkritisi dengan teori dan data ilmiah yang menunjang. Kita pun tentu ingat dengan berita Pengembangan Obat Dexamethasone yang diklaim bisa menyembuhkan Covid-19 pada sekitar Juli 2020 yang tak jelas prosedur pengujian secara klinis.
Dengan kolaborasi antara UNAIR dan BIN. Yang menjadi janggal adalah bagaimana bisa intelijen terlibat dalam mengembangkan produk medis yang jelas-jelas bertentangan dengan tupoksi intelijen adalah sebagai mengumpulkan informasi secara rahasia yang bersifat potensi ancaman bagi stabilitas negara.
Banyak para epidemiolog yang mengkritik habis-habisan Obat Dexamethasone dengan tidak adanya transparansi dalam prosedur uji klinis.
Tentunya kita belajar dari kasus Obat Dexamethasone, bahwa seharusnya perlu adanya pengawasan secara ketat dan prosedur pengujian secara klinis dengan selalu mengedepankan transaparansi informasi publik mengingat keselamatan akan orang banyak.
Sudah saatnya pihak yang berkepentingan dalam masalah kesehatan, seperti Kementerian Kesehatan hadir dalam pengawasan pengembangan Vaksin Nusantara dan jangan sampai Vaksin Nusantara yang saat ini digembar-gemborkan di media menjadi blunder, karena mengabaikan etika ilmiah penelitian dan mengorbankan keselamatan rakyat sebagai kelinci percobaan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Pemerintah Arab Saudi Beri Syarat Umrah Jika Sudah Vaksin 4 Jenis, Sinovac Tidak Termasuk
-
Ramai Video Warga Diduga Disuntik Vaksin Kosong, Nakes Hanya Katakan Maaf
-
Target Vaksinasi Tidak Tercapai, Wali Kota Batam Minta Bantuan Danrem dan Dandim
-
Biar Aman, Hindari Datang ke Tempat Berikut Kalau Belum Vaksinasi
-
Tenaga Medis di Aceh Disuntikan Vaksin Moderna
Kolom
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
Terkini
-
Hemat Waktu dan Tenaga, Ini 7 Cara Efektif Membersihkan Rumah
-
4 Cleanser Korea dengan Kandungan Yuja untuk Wajah Sehat dan Glowing
-
Menopause Bukan Akhir, tapi Transisi yang Butuh Dukungan
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker
-
Totalitas Tanpa Batas: Deretan Aktor yang Rela Ubah Penampilan Demi Peran