Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Budi
Ilustrasi Diri Sendiri. (Pixabay)

Mendengar nama pahlawan, kadang kala hanya tertuju pada pahlawan nasional yang sudah diberi gelar oleh negara seperti Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Jenderal Sudirman, Syahrir dan pahlawan nasional lainnya. Atau pun pahlawan yang trend sekarang ini, para tenaga medis, relawan, dan pejuang lainnya sebagai garda terdepan melawan virus Corona. 

Anggapan itu tentu suatu kebenaran, namun di sisi lain gelar pahlawan bukan hanya sekedar itu. Seorang pahlawan tidak mesti ia terlibat dalam peperangan atau pun ikut pada kegiatan sosial untuk menyelesaikan masalah. Pahlawan dapat datang dari orang-orang terdekat, termasuk keluarga, para sahabat dan bahkan datang dari diri kita sendiri.

Nah, pahlawan yang datang dari dalam diri sendiri inilah yang kadang diabaikan dan sering disepelekan. Ironisnya jika ada orang yang selalu menganggap dirinya yang paling buruk, menilai dirinya memiliki banyak kekurangan, dan tidak ada semangatnya untuk berjuang.

Tentu saja kondisi itu, efeknya dapat menghadang proses perkembangan diri mengingat rasa optimis tidak ada. Lagi-lagi dogma pesimis timbul ketika melihat kelebihan dan kesuksesan orang lain. Padahal tidak, bagaimana dan dari mana pun kita berasal, mesti kita juga punya hak untuk mendapatkan gelar pahlawan. Lalu bagaimana diri kita bisa dikatakan sebagai pahlawan?

Bagi saya pribadi, nafsu adalah musuh terbesar saya dan ketika saya mampu untuk meredam atau mengendalikan nafsu tersebut itulah pahlawan saya. Taruhlah misalnya saya berhasil menahan nafsu untuk tidak korupsi (walau pada zona itu ada peluang korupsi). Akan tetapi, kondisi itu saya berhasil menahan dan meredam nafsu, bagi saya itu adalah pahlawan saya yang sangat berharga. Karena tentu kita tahu kalau perbuatan korupsi tidak ada ajaran pun yang membenarkannya. 

Atau cantoh lainnya, saya mampu meredam nafsu untuk tidak berkata bohong, meredam nafsu agar tidak terlibat dalam pergaulan bebas (mengkonsumsi narkoba dan obat terlarang), dan perbuatan buruk lainnya yang mampu kita menahan diri untuk tidak melakukannya. Itulah pahlawan yang sesungguhnya dan tidak ada tandingannya bagi saya. 

Dengan demikian, maka sepatutnya kita juga perlu menengok pada diri sendiri. Mampukah kita menjadi pahlawan atas diri sendiri? Ya, mengapa tidak. Ketika kita mampu menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, itulah pahlawan besar kita yang perlu digenggam. Tidak apa-apa mengangumi pahlawan yang telah gugur, karena disitulah kita dapat memetik hikmah dan mengambil pelajaran.

Namun keliru rasanya, kalau di mulut selalu menggaungkan kata-kata pahlawan, tetapi perilaku dan tindakan tidak sesuai yang diucapkan. Tidak mampu menahan diri melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, maka gelar kepahlawanan dalam dirinya tentu terkubur mati. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan, tentu ada hikmahnya dan itu juga suatu aksi kepahlawanan walaupun sederhana.

Jadi, pahlawanku adalah saat saya mampu meredam atau menahan hawa nafsu saya untuk tidak melakukan perbuatan buruk (kejahatan). Tetap berusaha melakukan yang terbaik, walau sederhana dan kecil karena gelar pahlawan juga bersemayam di dalamnya.

Budi