Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Syamsuddin
Ilustrasi Petani Sedang Panen (pexels.com)

“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padnja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantu Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada Negeri.

Demikian nasehat seorang Kia yang merupakan pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari (Dikutip dalam buku Agama NU untuk NKRI, Karya Ahmad Baso).

Kemana Kita Mencari Penolong?

Dalam suasana yang penuh uji, dan kondisi hidup yang tak pasti, sepertinya kita perlu sejenak untuk merenung, merefleksi kembali, kira-kira apa yang salah di Negeri tercinta ini?

Kita tahu bahwa pandemi Covid-19 membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan. Mulai dari kehidupan bermasyarakat, beragama, sampai kehidupan bernegara. Tentu saja, kita sebagai manusia yang percaya atau berkepercayaan, percaya dan berharap kepada mereka yang disebut sebagai pemerintah untuk mencari solusi, dan semoga bukan koalisi untuk persiapan menuju perolehan tahta nanti.

Tapi, sepertinya harapan-harapan itu terus saja berlalu tanpa ada tanda-tanda akan terjadi. Ia justru meredup bahkan hilang ditelan oleh cemas keragu-raguan. Terbukti, masalah pandemi belum selesai, justru lahir rentetan narasi pelanggengan periode di satu sisi, dan muncul narasi untuk kembali bertarung di pemilu nanti di sisi yang lain.

Padahal rakyat sedang menjerit tak tahu dengan cara apa dan bagaimana meneruskan hidup. Sebab hidup semakin rumit, ruang gerak menjadi sempit, ekonomi kian terjepit, Ibu Pertiwi menangis. Jika terus seperti ini, lalu kemana kita hendak mencari penolong diri? Sedang Tuhan sendiri sudah menggariskan dalam firmannya: “Aku tidak merubah suatu kaum, jika mereka sendiri tidak merubahnya.” Firman itu seolah memberikan sebuah pesan isyarat kepada kita, bahwa: “Berusaha dahulu, berdoa kemudian”  

Sekali lagi kemana kita harus mencari penerang agar bisa keluar dari situasi yang gelap seperti sekarang ini?

Sebuah Harapan Baru

Suatu hari saya membuka media sosial Facebook, lalu sebuah tulisan yang menurut saya menarik, lewat di beranda saya dengan judul “Andai Jokowi Mendengar Gunter Pauli” oleh pengguna akun bernama Farid Gaban.

Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa di tengah suasana keterpurukan ekonomi seperti sekarang, kita bisa memperbaikinya dengan membangun ekonomi yang berbasis keragaman hayati alam (bumi). Terori ini disebut sebagai “Ekonomi Biru” sebuah nama yang diambil berdasarkan karakter bumi yang berwarna biru.

Membangun ekonomi dengan berbasis karakter keragaman hayati, singkatnya dapat kita lihat pada adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di desa-desa, sebelum dimasuki virus-virus modernisasi (kapitalis). Di mana, mereka hidup dari hasil bumi sebagaimana alam bekerja. Menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan, serta beternak sapi, kambing, ayam dan seterusnya.

Mereka menjaga tanah, merawat sungai-sungai atau air laut, sehingga mereka bisa hidup dan bertahan dari hasil panen tanaman serta menangkap ikan di sungai maupun di laut. Begitulah kira-kira gambaran kesederhanaan hidup masyarakat di desa.

Kini saya melihat, kesederhanaan hidup itu sepertinya dirindukan kembali dan ingin dibangun oleh masyarakat kita. Hal tersebut dapat kita lihat bagaimana masyarakat memenuhi beranda-beranda media sosial, dengan pose mereka bersama ragam tanaman yang diperlihatkan.

Pun di kehidupan nyata, saya melihat orang-orang di desa (saya) kembali memenuhi kebun bahkan halaman rumah mereka dengan berbagai macam tanaman. (Dulu sempat ditinggal –merantau  demi kepentingan ekonomi– dan sekarang terpaksa pulang karena adanya Covid-19).

Maka untuk kesekian kalinya, kita harus berharap kembali. Kali ini bukan lagi berharap keringanan tangan oleh kaum pemodal untuk memperbaiki negeri, tetapi berharap pada kemampuan sendiri.

Jika semangat hidup didasarkan pada kesederhanaan dan berbasis karakter alam bumi ini, digalakkan dan diimplementasikan di bumi Indonesia kita, bukan tidak mungkin ekonomi bangsa kita akan tumbuh bangkit dan digdaya. Sebab kita memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil.

Kita bisa membangun ekonomi dari dalam negeri, bukan lagi dari luar dengan cara berhutang ke negara lain. Kita bisa menjadi negara produsen, bukan lagi sebagai konsumen.  

Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mengajak kita semua untuk sama-sama menggalakkan atau mensosialisasikan, tentang pentingnya kita kembali membangun bangsa ini berdasarkan karakter yang dimiliki. Sebagaimana nasehat KH. Hasyim Asy’ari di awal, bahwa: “Pak tani (keragaman hayati), adalah gudang kekayaan bangsa ini.”  

Syamsuddin