Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Syamsuddin
Ilustrasi Manusia di Era Teknologi. (pexels.com)

Seorang ilmuwan komunikasi dan kritikus bernama Marshall McLuhan, di awal tahun 60-an memperkenalkan sebuah istilah “Global Village” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Desa Global.”

Ia menjelaskan dalam bukunya “Understanding Media: Extension of A Man” bahwa di dalam desa global tidak ada lagi batas-batas waktu dan tempat secara jelas antar satu dengan yang lain, sebab semua informasi dapat diakses melalui lalu lintas internet.

Hidup di dalam desa global, informasi dan komunikasi semakin terbuka secara masif melalui kecanggihan teknologi. Perubahan demi perubahan dari segala aspek akan terus terjadi, baik dari segi pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun agama.

Ramalan Aneh Terbukti di Abad yang Berlari

Di tahun 60-an, dimana internet belum tersedia, teknologi belum begitu maju seperti sekarang, informasi berita hanya bisa diakses melalui saluran radio, TV atau media cetak (koran), pemikiran tentang konsep desa global tersebut dianggap aneh bin nyeleneh.

Tetapi setelah memasuki abad kini, dan melihat potret realitas yang terjadi maka dengan terus terang kita harus mengakui bahwa ramalan yang dianggap aneh bin nyeleneh itu benar-benar terbukti.

Di abad yang serba berlari ini kita menjadi sangat tergantung (lebih tepatnya kecanduan) terhadap teknologi, dan pada saat yang sama kita tidak menyadari sedang mengalami revolusi (pola) komunikasi yang lebih terbuka dan lebih luas tanpa terhalang oleh batas waktu dan tempat.

Dampaknya adalah terjadi campur aduk nilai antar satu dengan yang lain, perang dominasi berebut pengaruh serta tarik menarik  dari berbagai arah. Sehingga kita menjadi sulit untuk menemukan nilai-nilai yang kompatibel dengan kondisi lingkungan sekitar bahkan sulit mengenal diri kita sendiri.

Di tengah gemuruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai macam dampak yang ditimbulkannya, muncul semacam kerinduan atau keinginan (oleh sebagian kelompok) untuk mengembalikan kondisi hidup ke masa lalu. Ironinya keinginan tersebut juga berlaku dalam memahami ajaran agama Islam.

Fundamentalis Islam, Mundur di Tengah Kemajuan

Dalam konteks teologis (Islam), tarik menarik serta perang dominasi yang terjadi dapat kita lihat dalam dua kelompok besar. Pertama Islam fundamentalis, yaitu kelompok muslim yang memahami ajaran Islam hanya berdasarkan teks bukan dengan konteks.

Kelompok Islam fundamentalis ini ingin menarik kehidupan di masa sekarang untuk kembali ke masa lalu, sebagaimana kondisi hidup baginda Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya (Khulafaur Rasyidin) yang dianggap sebagai masa keemasan di dalam Islam dan dijadikan sebagai alat justifikasi atas pemahaman mereka untuk menegakkan atau mendirikan Negara Islam (Khilafah).

Menurut pendapat Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Maarif dalam prolog buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” menjelaskan bahwa keinginan untuk kembali ke masa lampau itu didorong oleh ketidakmampuan mereka dalam menghadapi arus perubahan sehingga menghibur diri dengan berlindung di balik dalil-dali agama.

Selain itu, dalam konteks Indonesia keinginan tersebut juga disebabkan oleh kegagalan negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonsesia.

Apalagi dalam suasana pandemi covid 19, mereka (seolah) memperoleh momentum yang tepat untuk membangun narasi-narasi yang provokatif bahwa pemerintah anti terhadap Islam, pengajian dibubarkan, rumah-rumah Ibadah (masjid) ditutup, shalat berjamaah dilarang, sementara tempat-tempat belanja di buka, dan seterusnya.

Berbagai bentuk narasi tersebut, apabila dibiarkan terus menerus tanpa adanya sosialisasi yang baik dari pemerintah serta counter narasi dari kelompok Islam yang moderat, selain akan mencederai citra pemerintah juga dapat berpotensi merusak sendi-sendi beragama dan bernegara di Indonesia yang berasaskan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab kelompok Islam demikian ini menganggap bahwa negara yang tidak berasaskan sistem kepemimpinan Khilafah itu adalah negara kafir yang harus diperangi.

Kedua Islam moderat, yaitu kelompok muslim yang memahami ajaran Islam secara kontekstual sesuai dengan kondisi waktu dan tempat dimana ia berada. Dalam menghadapi arus perubahan di era sekarang (termasuk pandemi covid 19) selalu mampu menemukan pemaknaan secara substansial di dalam ajaran Islam tanpa harus kehilangan nilai-nilai yang diyakini (benar) dari masa lalu. Hal tersebut dapat kita lihat dengan jelas dalam kaidah yang digunakan yaitu:

Merawat kebiasaan lama yang (sifatnya) baik dan mengambil kebiasaan baru yang (sifatnya) lebih baik.

Sikap inilah yang tidak dimiliki oleh kelompok Islam yang pertama, yakni kemampuan untuk beradaptasi dalam setiap situasi dan kondisi apapun. Apalagi dengan laju perubahan yang begitu cepat, mereka menjadi kelompok yang terisolasi dari perubahan-perubahan sosial yang terus terjadi di dalam desa global. Sehingga ingin mundur ke belakang dan berharap bisa menunjukkan eksistensi mereka, dengan menjual dagangan khilafah atau negara Islam yang dalam implementasinya terbukti gagal menjadi payung bersama bagi umat Islam, bahkan justru menjadi biang perpecahan di dalam Islam itu sendiri sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah.

PR Bangsa Indonesia

Tentu saja kita tidak ingin negara Indonesia yang kita cintai ini terjadi konflik atas nama apapun termasuk atas nama agama (Islam). Oleh karena itu keterampilan dalam mengartikulasikan ajaran Islam dari waktu ke waktu, serta kemampuan dalam mengkompromikan antara agama dan negara sangat dibutuhkan agar eksistensi bangsa Indonesia tetap utuh dalam setiap situasi dan kondisi.

Kita semua berharap, semoga di usia ke 76 Indonesia merdeka ini, dapat memantik kesadaran bersama bahwa selain virus corona (covid 19), fenomena kemunduran umat Islam (fundamentalis) di tengah kemajuan teknologi “Global Village” juga merupakan PR bersama yang harus segera diatasi oleh bangsa Indonesia.

Syamsuddin