Pro kontra terkait video viral para santri tutup telinga saat dengar musik masih terus berlanjut. Sebelumnya diketahui, sejumlah santri itu sedang mengantri untuk mengikuti vaksinasi Covid-19. Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa video santri ini cukup viral dan mengundang para tokoh serta pengamat untuk memberikan komentar?
Ternyata dalam konteks demokrasi digital, pro dan kontra ini kian membuktikan bahwa budaya digital telah membuat seseorang terkena sindrom reaktif.
Artinya, kita belum tahu duduk persoalannya, tapi sudah langsung memvonis dan memberikan pendapat tanpa berbasis fakta. Bahkan mirisnya, yang mengunggah video pun belum tentu tahu maksud dan tujuan, mengapa para santri harus menutup telinga ketika musik terdengar.
Padahal, dalam konteks ini, sebenarnya sangat wajar ketika seorang santri yang memang dituntut untuk memperbanyak hafalan, kemudian harus menutup telinganya ketika ada suara lain yang menggangu.
Apalagi dunia santri memang memiliki kultur yang berbeda, dan tidak banyak diketahui oleh publik. Artinya, ini pilihan masing-masing. Jadi tidak usah lebay dan mudah menyebut seseorang dengan hal yang tidak pantas. Apalagi dengan sebutan radikal.
Fenomena pro dan kontra ini terjadi diakibatkan masyarakat kita masih gagap dalam menghadapi transformasi budaya dari yang konvensional menuju digital. Padahal, budaya digital tentu akan menciptakan sisi negatif seperti generasi yang berwatak reaktif.
Maka dari itu, mengapa banyak video settingan atau prank yang kemudian banyak beredar luas dan juga viral. Bahkan seorang yang berpredikat seorang guru besar pun bisa lebih reaktif seperti anak kecil.
Artinya, kita lebih cepat terbuai dengan konten yang banyak dibicarakan orang. Padahal fakta yang disajikan dalam konten tersebut belum tentu kebenarannya.
Sebut saja, baru-baru ini ada video pasangan Gancet yang kemudian membuat sebagian warganet Indonesia cepat mempercayai. Padahal video Gancet tersebut merupakan konten settingan atau prank.
Artinya, kalau kita tidak jeli, tentu ini akan membuat kita cepat reaktif. Oleh sebab itu, langkah tepat bagi warganet Indonesia, mari ketika menerima konten media sosial, cobalah bersabar untuk tidak cepat memvonis dan kedepankan langkah verifikasi terlebih dahulu.
Tag
Baca Juga
-
Ancaman Sanksi dari PDIP Soal Capres Terkesan Lebay
-
Gegara Bentangkan Poster ke Jokowi, Akhirnya Suroto Diundang ke Istana
-
Pejabat Negara Makin Kaya Raya Selama Pandemi, Bagaimana Sikap Publik?
-
Partai Demokrat Ditantang oleh Rakyat untuk Menjadi Oposisi?
-
Pantaskah Ganjar Pranowo Disebut Kepala Daerah Paling Partisipatif?
Artikel Terkait
-
Dari Driver Gocar Jadi Investor? Maruarar Sirait Terinspirasi Kisah Anak Muda Ini!
-
Tumis Haseum: Si Ajaib Penyelamat Lauk Sisa Lebaran yang Viral di TikTok
-
Siapa Sosok Walid? Tokoh Pemimpin Sekte di Serial Bidaah yang Viral di TikTok
-
Lagi Tren Joget THR: Apakah Terinspirasi dari Tarian Yahudi?
-
Viral Denny Landzaat Fasih Bahasa Indonesia di Maluku, Shin Tae-yong Kena Sindir
Kolom
-
Sentilan Luhut dan Demokrasi Sopan Santun: Ketika Kritik Dianggap Ancaman
-
Bisnis Musiman Pasca-Lebaran: Peluang yang Masih Bisa Digali
-
Membedah Perjuangan Politik Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Bangsa
-
Demokrasi atau Diktator? Brutalisme Aparat di Balik Demonstrasi UU TNI
-
Wisata Jokowi, Rasa Cinta di Antara Suara Kritis Kita
Terkini
-
Review Film Holland: Misteri yang Gagal Mengembang dan Meledak
-
4 Drama dan Film China Garapan Sutradara Guo Jingming, Semuanya Booming!
-
Gol Tunggal Bersejarah! Timnas Indonesia U-17 Bungkam Korea Selatan di Piala Asia U-17
-
Suka Nonton The Life List? Ini 5 Film dengan Vibes Serupa yang Heartwarming
-
Bikin Hati Adem, Ini 3 Novel Jepang Berlatar Toko Buku dan Perpustakaan