Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Muhamad Firdaus | Supriyadi Bas
Rinding.[Dok. pribadi/Iwenk]

Meskipun kondisi ekologi yang cenderung tandus, namun kebudayaan di sana tidaklah kering. Kabupaten yang tersemat dengan kata Handayani ini memanglah memiliki berbagai tradisi dan kebudayaan yang masih asri. Kita dapat saksikan bebunyian klenengan, pagelaran wayang, jaranan, dan seturutnya. Ritus-ritus yang menjadi tradisi di Gunung Kidul pun masih dinunaikan oleh masyarakatnya, seperti wiwit, nyadran, dan lain sebagainya. Kiranya, ihwal kebudayaan menjadi oase tersendiri bagi masyarakat Gunung Kidul.

Salah satu hasil kebudayaan yang menjadi ciri khas di kabupaten yang juga kaya dengan eksotika alamnya ini ialah Rinding Gumbeng. Kesenian yang hidup di Desa Beji, Kecamatan Ngawen ini masih dapat dijumpai hingga kini. Ansambel yang didominasi oleh bambu ini tentunya karib dengan iklim kebudayaan bambu di nusantara, khususnya Gunung Kidul. Menariknya, kesenian ini tidak hanya mengejawantahkan perihal musikal, namun juga memuat simbol dan bahasa kebudayaan di sana.

Lantunan untuk Hyang Sri

Dalam satu ansambel Rinding Gumbeng diisi oleh berbagai instrumen: Rinding, Gumbeng, Celempung, Gong sebul, Krek-krek, dan juga beberapa instrumen lainnya. Meskipun berbentuk ansambel, namun sorotan yang kebanyakan diberikan ialah kepada instrumen rinding. Tiba-tiba teringat adanya karinding dari tatar sunda, ataupun rinding ko pring dari Wonogiri. Kedua instrumen ini kiranya juga dekat dengan kebudayaan agraris. 

Sama halnya dengan dua rekan sejawat di atas, rinding juga dekat dengan budaya agraris. Mitosnya, rinding ini dibuat oleh sesepuh desa yang bernama Ki Ageng. Tujuannya ialah untuk menyambut kedatangan Dewi Sri. Sebelum tersosokannya Dewi Sri sebagai Dewi Padi, anggapan masyarakat di sana ialah kedatangan putri bangsawan keraton yang memberikan penyuluhan terhadap pertanian. Rinding ditujukan untuk menyambutnya. Syahdan, sejak kedatangan Dewi Sri, hasil panen di desa tersebut melimpah.

Atas peristiwa terpapar, rinding dan kebudayaan agraris di sana akhirnya tertaut. Melalui bunyi, Rinding kemudian menjadi wahana untuk melantunkan penghormatan dan persembahan kepada Dewi Sri. Hal ini dapat disaksikan dalam tradisi Mboyong Dewi Sri. Ketika arak-arakan dan prosesi dilangsungkan, bunyi dari rinding memenuhi aktivitas tersebut. Dari peristiwa ini, penikmatan bunyi yang terlahir dari rinding, kiranya patut dicerap melalui wujud kontekstualnya juga. Dengan begitu, estetika bunyi yang dimaksudkan akan lebih tertangkap: bunyi rinding teruntuk Hyang Sri.

Mboyong Dewi Sri menjadi terminal atas leburan antara bunyi dan doa. Lantunan doa terkumandangkan melalui bunyi. Bunyi rinding menjadi sebuah simbol bahasa doa. Ucapan syukur atas anugerah panen yang melimpah tervibrasikan melalui bunyi yang teralun. Harapnya, anugerah ini senantiasa tersiratkan agar kemakmuran selalu didapatkan. 

Karena tautan antara rinding dan Dewi Sri, keidentikan akhirnya didapatkan bagi masyarakat Desa Beji. Bermula dari wujud penyambutan, hingga akhirnya menjadi persembahan dan penghormatan. Kini, bunyi rinding melampaui tujuan sebelumnya: menjadi bahasa doa untuk bersyukur. 

Pola semacam ini kiranya banyak ditemui di berbagai daerah lain, misal tarawangsa di Sumedang, Kesenian Ciblon di Klaten, dan lain-lain. Pengejawantahan rasa syukur yang barangkali tidak cukup melalui bahasa verbal, akhirnya diejawantahkan melalui bahasa bunyi. Dalam hal ini, rinding tidak saja menjadi instrumen budaya agraris dalam bentuknya, namun kandungan filosofi dan cerita-ceritanya yang memengaruhinya. Rinding tidak hanya dimaknai melalui wujud instrumen saja, namun kandungan bunyinya yang menjadi suratan doa dan harapan.

Supriyadi Bas