Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Darynaufal Mulyaman
Gambar citra satelit pengerahan pasukan tank Rusia sepanjang lima kilometer menuju ibu Kota Kiev, Minggu (27/2/2022) waktu setempat. (Foto: AFP)

Konflik Rusia dan Ukraina belakangan ini menjadi santapan utama masyarakat dunia. Presiden Vladimir Putin memutuskan untuk mengerahkan kekuatan militer Rusia ke Ukraina yang memang mempunyai hubungan diplomasi kurang akur, paling tidak sejak 2014.  Sederet sanksi pun didapatkan Rusia akibat pengerahan kekuatan militer tersebut dari Dunia Barat, yang memang mengambil sisi Ukraina sebagai tempat berpijak. Analisis mengapa terjadi eskalasi konflik pun beragam. Meskipun demikian, paling tidak kita dapat melihat keteguhan seorang Presiden Putin dalam menjaga ekosistem Rusia dan negara pecahan Uni Soviet sebagai suatu hal yang mutlak baginya. Tata kelola pemerintahan eks-Uni Soviet sejatinya menempatkan Rusia sebagai matahari dan negara pecahannya sebagai planet yang mengorbit. Tentu saja, jika kita mendalami analogi ini, 1 saja planet keluar orbit, maka akan menimbulkan kekacauan alur sehingga tata semestanya hancur.

Presiden Vladimir Putin memang terkenal sebagai pemimpin yang tampil dengan visi untuk menjaga tata semesta tersebut. Russifikasi di wilayah Slavia Timur hingga Timur Jauh memang menjadi agenda politik pemimpin Bangsa Rus sejak lama, bahkan ketika Rusia masih menjadi kerajaan kecil dan terpecah. Maka, Presiden Putin sepertinya menyesuaikan dengan menyalurkan tata kelola kepemimpinannya tidak melalui retorika ala Dunia Barat, seperti Liberalisme dan Demokrasi, tetapi melalui seri kepemimpinan yang sejatinya sudah ada di Rusia sejak lama, seperti ideologi Tsar Nicholas I yaitu, Orthodoks, Autokrasi, Nasionalitas (Orthodoxy, Autocracy, Nationality). 

Orthodoks dalam konteks ini dimaksudkan sebagai Konservatisme dan Statisme. Autokrasi adalah pola kepemimpinan terpusat. Sementara, Nasionalitas berarti patriotisme dan rasa cinta tanah air. Cannady dan Kubicek (2014) beranggapan dalam argumennya bahwa apa yang dilakukan Putin adalah kontinuitas dari apa yang sudah dibangun oleh para Tsar terdahulu, seperti Nicholas I, dan tidak menutup kemungkinan, Stalin, yang datang bukan dari era-Tsar.

Lantas moral apa yang dapat dipetik bagi Indonesia dan, untuk beberapa derajat tertentu, ASEAN? Sebenarnya mudah, yaitu konsisten dan teguh dalam mewujudkan visi. Seperti kita ketahui bersama, Indonesia seringkali bergonta-ganti panduan ketika berganti kepemimpinan, sehingga kontinuitas pembangunan sering kali tidak terjaga karena terganjal perbedaan kebijakan tiap masa kepemimpan.

Kemudian, apakah harus dilakukan oleh 1 orang saja agar visi pembangunan tetap terjaga? Tentu tidak, karena iklim republik demokrasi yang sudah melekat dan cocok pada Indonesia yang beragam sejak merdeka dan semakin diperkuat dengan adanya Pergantian Orde pada tahun 1966 dan disusul Reformasi pada tahun 1998. Lalu bagaimana menjaga kelanjutannya? Penguatan sistem dan tata kelola birokrasi pemerintahan sangat diperlukan untuk menjaga visi pembangunan agar tetap transparan dan terjaga seimbang di tengah peliknya arus politik yang pasti terjadi saat rotasi kepemimpinan. 

Sistem yang tidak hanya dinamis, tetapi juga statis dan rigid di satu sisi pada detail-detail tertentu dibutuhkan agar hasil konsensus besar bersama yang sudah disetujui, dapat diikuti dengan baik guna mengurangi ego sektoral yang acapkali muncul pada pemerintahan yang demokratis. Penguatan sistem ini, seperti yang dijelaskan oleh Arango (2021) adalah penekanan pada peningkatan kualitas aturan, bukan kuantitas, di level perumusan aturan, seperti kongres atau lembaga legislatif, lembaga judikatif, dan tidak tertutup juga untuk eksekutif. Bahkan, kualitas yang berarti aturan yang mempertimbangkan semua pihak, tidak mengarah pada dukungan politik atau kelompok tertentu.

Lebih lanjut lagi, jika sudah diimplementasikan pada level nasional, tidak salah juga untuk membawa hal tersebut pada level regional. ASEAN sebagai wadah pemerintahan regional yang mana Indonesia termasuk di dalamnya, sering kali tampil tak berguna karena ketiadaan bergerak ke dalam dengan panduan yang baku dan terstruktur.

Maka, ASEAN acapkali kehilangan marwah karena anggotanya bergerak liar masing-masing dengan ideologi dan visinya. Sementara banyak diskusi yang bermunculan berisi penguatan ASEAN sebagai wadah regional untuk memastikan keseimbangan dan kontrol untuk mewujudkan Asia Tenggara yang inklusif.

Oleh karena itu, mewujudkan sebuah sistem yang memiliki rasa keberlanjutan dan tegak lurus terhadap visi yang sudah dicitakan, merupakan sebuah keniscayaan, entah pada level lokal, nasional, hingga regional, dan tidak menutup kemungkinan juga, global. Maka, sudah sepantasnya pada pengelolaan pemerintahan, diperlukan kontrol pada fungsi yang elaboratif dan efisien agar berjalan sesuai haluannya.

*Darynaufal Mulyaman (Dosen Prodi HI UKI dan Research Fellow di INADIS)

Darynaufal Mulyaman