Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Meliana Aryuni Aryuni
Ilustrasi keragaman suku (pexels.com/ Ganta Srinivas)

Hampir 7 tahun aku merantau di sebuah daerah yang jarak tempuhnya 10-12 jam perjalanan darat dari kampung halamanku. Daerah itu terasa sangat asing bagiku karena sangat berbeda sekali dengan apa yang pernah kualami dulu ketika masih di kampung halaman. Awalnya, aku sedikit bingung dengan kenyataan itu. Namun, lambat laun aku mulai mengajak diriku untuk berkompromi menjalani semua yang ada di tempat yang baru ini.

Desa Mekar Sari, Oku Selatan, Sumatera Selatan adalah tujuan perantauan keluarga kecilku. Di sanalah tempat suamiku mengabdikan diri menjadi salah satu pengajar di sekolah lanjutan pertama. Di sana juga aku mulai merasakan banyak petualangan, pembelajaran jiwa, dan hikmah.

Desa Mekar Sari adalah sebuah desa kecil di ujung Oku Selatan. Dulu, desa ini merupakan bagian dari desa Gunung Raya. Baru beberapa tahun ini desa ini terpisah dari desa Gunung Raya sehingga penduduk di desa ini pun belum banyak. Di daerah tempatku saja baru berdiri beberapa rumah penduduk. Selebihnya dihuni oleh ribuan batang kopi.

Memang penghasilan utama warga di sana adalah kopi. Kopi merupakan komoditas utama di desa ini, diikuti merica, kayu manis, dan cengkeh. Jadi, hampir seluruh penduduk di sini memiliki kebun kopi. 

Desa ini termasuk desa kecil, tetapi ragam budayanya sangat banyak. Mulai dari budaya pengajian, budaya hajatan, sampai budaya memetik kopi. Aku banyak belajar dari budaya-budaya itu di sini.

Menjadi warga baru membuat aku harus beradaptasi dengan udara, dinginnya air pegunungan, dan  berbagai bahasa dan budaya dari beragam suku. Kebanyakan warga di sini adalah perantau. Mereka berasal dari suku Jawa, Sunda, Bayur, Semendo, dan Ogan. Bahasa yang mereka gunakan pun sering berseling sesuai dengan lawan bicaranya. Namun, bahasa yang sering digunakan saat berinteraksi adalah bahasa Jawa. 

Bahasa Jawa adalah bahasa resmi di sini dan aku tidak mengerti. Aku yang lahir dan besar di Palembang serta tidak pernah menggunakan bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari  meskipun suamiku orang Solo. Aku hanya tahu beberapa kata seperti neng di, ora, opo, suwun, dan beberapa kata pendek lain dari lewat percakapan para warga. Itu pun kuketahui setelah minta diterjemahkan oleh suamiku.

Di masa awal aku pergi ke kalangan--pasar mingguan yang ada hanya pada hari Selasa setiap pekan--, bahasa yang digunakan pedagang kepadaku adalah bahasa Jawa. Aku sering bingung jika mereka menyebutkan harga kepadaku. 

Aku tidak begitu tahu kosakata Jawa karena dalam keseharianku, bahasa yang dipakai di keluarga kecilku adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, aku tidak segan mengatakan kepada pedagang di pasar bahwa aku tidak mengerti bahasanya dan bertanya maksud pembicaraan mereka bila menggunakan bahasa Jawa. Untungnya mereka mengerti bahasa Palembang dan Indonesia. Lalu, menggunakan kedua bahasa itu bila aku sedang berbelanja. Sejak saat itu, aku pun tidak begitu mengalami kesulitan lagi dalam berinteraksi dengan mereka karena mereka pun beradaptasi denganku.

Perihal bahasa adalah perihal yang penting bagi manusia. Dengan berbahasa kita bisa menyampaikan pendapat atau keinginan kita dengan cepat, mudah dipahami, dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa juga menjadi pemersatu keragaman budaya di desa Mekar Sari.

Benar kiranya isi Sumpah Pemuda yang ketiga--"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."-- yang  menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bagi bangsa ini. Bayangkan jika semua orang yang berasal dari beragam suku mempertahankan keinginan untuk menggunakan bahasanya masing-masing, maka yang ada adalah perselisihan. 

Semua itu karena rahmat Allah sehingga para pemuda mengikrarkan sumpah itu pada tanggal 28 Oktober 1928. Dampaknya, semua yang ditakutkan akibat beragamnya bahasa dan suku tidak terjadi. Penduduk Indonesia segera beradaptasi dengan bahasa Indonesia. 

Kata orang tidak ada yang tidak bisa dipelajari bila ada kemauan untuk belajar. Aku pun berusaha beradaptasi dengan bahasa setempat meskipun selalu saja terbentur karena sedikitnya kosakata yang kuketahui. Namun, kebanyakan bahasa yang kupakai adalah bahasa Palembang dan Indonesia. 

Meliana Aryuni Aryuni