Tentunya masyarakat kita sudah tidak asing lagi tentang apa yang disebut telepon pintar (smartphone), penggunaan berbagai fitur-fitur serta aplikasi yang ada di dalamnya sudah dapat mereka mengerti dan mereka akses dengan mudah. Dari kalangan dewasa, remaja, anak-anak, bahkan usia tua sekarang sudah dapat menggunakan smartphone tersebut. Terlebih lagi dengan terjadinya pandemi covid-19 menuntun kita menjadi masyarakat digital yang dapat dikatakan sepenuhnya. Sebagaimana penjual untuk dapat mempertahankan hasil penjualanya mereka harus bisa mengikuti perkembangan tersebut dengan berjualan secara online, begitu pula pekerja kantoran dan pelajar.
Peristiwa tersebut menjadikan suatu perubahan sosial masyarakat yang dahulu tradisonal menjadi masyarakat yang harus melek teknologi. Perubahan sosial masyarakat sendiri merupakan suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat. Melihat dari pergeseran atau perubahan masyarakat tersebut, tentunya timbul pertanyaan berupa: benarkah bahwa masyarakat kita sudah sepenuhnya dapat mengikuti perubahan tersebut, serta benarkah bahwa masyarakat kita sudah sepenuhnya melek teknologi? Karena kita tahu bahwa dapat menggunakannya saja tidaklah cukup, kita perlu mengetahui dan memahami makna serta fungsi dari kemajuan teknologi yang sebenarnya, sehingga dapat menggunakannya secara bijak.
Jika kita menengok ke belakang, banyak sekali peristiwa yang tidak sepatutnya terjadi dari dampak kemajuan teknologi tersebut. Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan banyak pelajar yang ahirnya putus sekolah karena tidak dapat mengikuti perubahan sistem belajar; para pedagang kecil (UMKM) yang kurang dapat mengikuti perubahan teknologi; serta yang masih hangat di telinga kita dimana banyaknya terjadi penipuan dari pinjol (pinjaman online), investasi bodong, penjualan fiktif (penjualan online sistem transfer, setelah uang dikirim penjual melarikan diri), maraknya promosi judi online dimana banyak diminati oleh kalangan muda dan pekerja kalangan menegah-bawah yang sekarang menjadi semakin menghawatirkan.
Kita tahu bahwa permasalahan-permasalahan di atas bukan hanya timbul dari dampak pandemi covid-19 saja, namun juga dari berbagai faktor seperti pendidikan, ekonomi, lingkungan sosial, dll. Jika dilihat dari segi pendidikan, Indonesia merupakan negara berkembang dengan tingkat pendidikan yang belum cukup baik, peringkat pendidikan di Indonesia menurut World Population Review pada tahun 2021 berada pada tingkat ke-54 dari 78 negara. Menurut saya ini yang menjadi suatu faktor timbulnya kesalahpahaman akan fungsi dari teknologi tersebut sehingga menjadikan sifat yang pragmatis dari diri seseorang.
Kemudian kebiasaan yang lahir dari dampak pandemi, menjadikan kita terlalu seringnya berada didepan layar smart phone memungkinkan kita terkena dampak Doomscroolling dan Doomsurfing, dimana dalam merriam-webster.com istilah tersebut merupakan suatu yang mengacu pada kecenderungan kita untuk terus menelusuri atau menggulir berita/konten yang buruk, seperti berita/konten yang berisi kesedihan, mengecilkan hati, bahkan membuat depresi bagi kita. Seperti halnya melihat kehidupan orang-orang yang berada di sosial media yang penuh dengan hingar bingar serta kebahagiaan yang mereka tontonkan membuat sebagian masyarakat ingin meniru dengan cara-cara yang instan. Begitu pula faktor ekonomi yang rendah menjadikan semakin terpola akan kesalahpahamanan pengertian ini.
Mengutip artikel yang berjudul Polarized Thingking: A Cognitive Distortion yang dimuat di exploringyourmind.com pemikiran terpolarisasi merupakan kesalahan penalaran yang kita buat tanpa kita menyadarinya, sehingga dalam memproses suatu informasi dilakukan secara tidak benar yang pada akhirnya menimbulkan tekanan emosional. Disebutkan dalam artikel tersebut bagaimana pemikiran terpolasisasi disebabkan oleh suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang seharusnya tidak mereka terima, orang-orang dalam situasi ini mengambil peran sebagai objek pasif dari suatu keadaan atau “takdir”.
Dari penjelasan diatas, pertanyaan tentang “benarkah bahwa masyarakat kita sudah sepenuhnya dapat mengikuti perubahan tersebut serta benarkah bahwa masyarakat kita sudah sepenuhnya melek teknologi?” dapat kita jawab sendiri dalam hati kita masing-masing. Tentunya peran pemerintah sepenuhnya diperlukan, bukan hanya dari segi ekonomi saja namun perlu juga lebih memfokuskan serta meningkatkan akan kebutuhan pendidikan masyarakat untuk mendapatkan generasi penerus bangsa yang baik. Di samping itu pula, dengan kesadaran akan hal tersebut, kita tentunya juga harus senantiasa memberikan kontribusi (walaupun kecil) sebagai warga negara yang baik, bukan hanya scroll-scroll media sosial yang dirasa hanya menghabiskan waktu dengan percuma.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Bangganya Menkes Budi Gunadi Sadikin, Lihat Poltekkes Surabaya Hasilkan Beragam Alat Kesehatan
-
4 Perilaku Buruk yang Tidak Semestinya Dibudayakan
-
Di Pertemuan Menlu G20, Retno Marsudi Sebut Masyarakat Bali Bisa Hidup Damai Berdampingan dengan Agama Lain
-
Pohon Jati, Salah Satu Potensi Sumber Daya Alam di Desa Todang-Todang
-
Pengamat: Pemerintah Harus Permudah KPR Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Kolom
-
Ngajar di Negeri Orang, Pulang Cuma Jadi Wacana: Dilema Dosen Diaspora
-
Percuma Menghapus Outsourcing Kalau Banyak Perusahaan Melanggar Aturan
-
Buku dan Martabat Bangsa: Saatnya Belajar dari Rak yang Sering Dilupakan
-
Menulis Tak Dibayar: Lowongan Kerja Jadi Ajang Eksploitasi Portofolio
-
Fleksibilitas dan Kecemasan: Potret Gen Z Hadapi Realita Dunia Kerja
Terkini
-
KISS OF LIFE Batal Tampil di KCON LA 2025, Imbas Isu Apropriasi Budaya
-
Dari Pop ke Dangdut: Transformasi Epik Anya Geraldine di Film Mendadak Dangdut!
-
BRI Liga 1: Madura United Terhindar dari Degradasi, Bali United Gigit Jari
-
Neural Fatigue: Kelelahan Kognitif Akibat Terpapar Stimulus Berulang
-
Resmi Rilis, Oppo Reno 14 Pro Chipset Kencang dan Triple Rear Camera 50 MP