Ada banyak cara seseorang untuk mencintai. Baik diri sendiri ataupun orang lain. Banyak orang berbicara tentang 'love yourself' tapi realita di lapangan seringkali jauh berbeda. Ada garis yang membatasi perbedaan 'self love' dan 'egois'.
Mencintai diri sendiri bagi saya bukanlah tentang menjadi yang terbaik. Atau sekadar mengikuti trend yang kerap kali hanya untuk mendapatkan pengakuan orang lain. Apalagi menyeret dan menjatuhkan orang lain dalam kerugian hanya demi kenyamanan sendiri.
Self love bagi saya adalah tentang penerimaan. Meski hidung saya tak mancung, tubuh saya tak tinggi layaknya model catwalk, dan beragam ketidaksempurnaan yang melekat dalam diri saya.
Usia saya 17 tahun ketika saya berhasil menerima diri saya sepenuhnya. Wajah berjerawat karena hormon remaja yang belum stabil, dijauhi teman karena terlalu egois yang saya pahami sebagai self love demi kenyamanan diri sendiri.
Kala itu saya menyadari, tidak peduli dan bersikap denial adalah dua hal yang berbeda. Saya kerap kali menyangkal tentang komentar orang lain terhadap saya. Lalu bersikap sinis pada mereka yang telah berkomentar. Padahal, jika tak peduli tentulah sikap saya pada mereka tak akan terpengaruh meski apapun yang mereka katakan.
Pada dasarnya manusia memang diciptakan memiliki rasa egois yang tinggi. Tapi controling kita terhadap itulah yang cenderung berbeda. Terkadang kita egois menuntut orang lain selalu sependapat pada kita. Atau sebaliknya, orang lain yang memaksa kita menjadi sama.
Saya seringkali berkaca dan memuji diri, tapi saat melihat sosok di balik cermin itu. Hati saya terkadang memiliki komentarnya sendiri. Alis yang tipis, gigi yang tak rata, kulit yang tak mulus seperti porselen. Betapa sebenarnya hati saya menginginkan sosok yang cantik jauh melebihi diri saya yang sekarang.
Saat itu, saya tak menyadari jika saya belum bisa menerima diri saya. Lalu apa yang selama ini saya katakan sebagai mencintai diri sendiri? Padahal, tentulah kita tahu jika tak ada kata cinta tanpa sebuah penerimaan.
Dan sejatinya, self-acceptance adalah bentuk self-love terbaik dan penghargaan terbesar pada diri sendiri. Saat kamu bisa mendengar pendapat orang lain tanpa merasa sakit atau bersikap denial, saat kamu tahu benar mana kekuatan dan kelebihanmu, juga tentang toleransi pada kekurangan dan ketidaksempurnaan diri.
Baca Juga
-
The Academy's Genius Swordsman:Webtoon Aksi yang Bikin Tegang!
-
Dari Air Mata ke Surga Kecil: Makna Cinta di Langit Taman Hati
-
Saat "Bumi Cinta" Naik Layar: Mampukah MD Pictures Menjaga Magisnya?
-
Tutorial Jadi Orang Keren di Buku "Seni Berbicara" Karya Larry King
-
Siap-Siap Dibikin Greget Sama Webtoon "The Problematic Prince", Yakin Kuat?
Artikel Terkait
Kolom
-
Ketika Hustle Culture Jadi Standar Nilai Diri: Salahkah Jika Diam Sejenak?
-
Meme In This Economy dan Kenyataan Pahit Hidup di Tengah Ketimpangan
-
AI dan Ekspektasi Emosional: Siapa yang Mengendalikan Siapa?
-
Paradoks Solo Leveling: Mengapa A-1 Pictures Rugi di Puncak Popularitas?
-
Scrolling Medsos Bikin Brain Rot: Buku Hadir Sebagai Pengalih yang Sehat
Terkini
-
Melihat Prespektif Berbeda Lewat Buku There Are No Bad People in The World
-
Gagal ke Piala Asia Putri 2026, PSSI Dikritik Pedas oleh Media Asing
-
8 Rekomendasi Film Horor yang Dibintangi Anya Taylor-Joy, Ada Favoritmu?
-
Momen Viral di Konser BLACKPINK, Ada Naeyon, Jihyo hingga Red Velvet
-
Tim PkM UNY Adakan Lokakarya Perempuan Islam Berkemajuan untuk Wujudkan Peradaban Utama