Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
Salah satu kegiatan di bimbingan belajar (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

Jika kita perhatikan, di zaman kiwari ini, rentang jam belajar siswa di sekolah, semakin lama. Ada cukup banyak TK yang jam masuknya setengah tujuh dengan jam kepulangan setengah dua belas.

Demikian pula SD, SMP, dan SMP. Dengan jam masuk yang kurang lebih sama, jam kepulangan minimal setengah dua hingga jam setengah lima. Bahkan ada sejumlah SMA dan SMK yang jam kepulangannya pukul lima, nyaris magrib!

Sementara zaman saya bersekolah, dulu, durasi belajar di sekolah, tidak selama sekarang. Zaman TK, saya masuk jam setengah delapan. Pukul sembilan, kegiatan sudah kelar. 

Pada zaman SD hingga SMA, kegiatan pembelajaran di sekolah, dimulai jam tujuh tepat. Berakhir pukul setengah dua siang.

Itu rasanya sudah amat lelah! Tak terbayangkan menjadi siswa zaman sekarang dengan jam belajar yang demikian lama!

Pertanyaan yang kemudian disoroti, sesuai judul tulisan ini, adalah: dengan jam belajar yang begitu lama dan padat, apakah siswa tidak dapat menyerap atau mencerna materi pembelajaran dengan optimal? Penandanya, mengapa jasa bimbingan belajar begitu marak bermunculan bak cendawan musim hujan, dengan pengikut berjibun-jibun?

Berdasarkan penelusuran pribadi dengan mencermati sejumlah bacaan dan realitas, setidaknya ada tiga penyebab fenomena tersebut.

Pertama, materi pembelajaran di sekolah formal di Indonesia adalah materi yang paling kompleks serta paling sulit dibandingkan negara lain, bahkan dibandingkan negara maju sekalipun. 

Saya pernah punya siswa pindahan dari Jepang, Filipina, dan Australia. Di kelas empat, mereka masih belajar konsep dan praktik perkalian. Materi tersebut dipelajari satu tahun penuh. 

Bandingkan dengan di Indonesia. Materi perkalian dan pembagian harus sudah dikuasai siswa kelas dua di awal semester dua, hanya dalam kurun satu atau dua bulan saja! Bulan berikutnya, sudah materi operasi hitung campuran nan rumit!

Kedua, karena materi pembelajaran yang demikian rapat serta tuntutan kurikulum yang menagih guru harus tuntas mengajarkannya, maka mayoritas pendidik di sekolah, berorientasi mengejar penyampaian materi.

Terpenting mengajar. Terpenting sudah menyampaikan. Perkara siswa paham atau tidak, itu lain soal!

Fakta bahwa nilai hasil belajar siswa kebanyakan rendah karena pemahaman mereka akan materi pun tidak mendalam, tidak jadi soal. Adalah fakta umum, saat ulangan, nilai akademis siswa jeblok, tapi begitu menerima rapor, nilai telah berubah bagus. Sulapan! Katrolan!

Ketiga, tuntutan zaman demikian menekan. Dalam hal ini, tuntutan untuk mendapat nilai bagus agar dianggap pintar, agar disayang dan disanjung guru, agar dapat dibanggakan orang tua, juga agar bisa masuk sekolah favorit di jenjang berikut (selain zonasi, jalur prestasi berdasarkan nilai rapor, masih sangat diperhitungkan dalam pendaftaran siswa baru SMP/ SMA).

Dengan tiga alasan tersebut, bimbingan belajar bertaraf luks hingga tataran gurem, laris diburu.

Dalam hal ini, 'keberhasilan' siswa memahami materi pembelajaran dan mencapai nilai 'bagus' justru ditentukan oleh guru bimbingan belajar. Lalu apa gunanya sekolah? Sekadar cari ijazah dan buku rapor?!

Thomas Utomo