Dalam era digital yang semakin berkembang seperti sekarang, muncul fenomena baru yang menarik perhatian masyarakat, yaitu fenomena stigma terhadap generasi strawberry. Generasi "S" merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap lemah, tidak tahan banting, dan mudah menyerah dalam menghadapi tantangan kehidupan. Namun, sebelum kita dengan mudah ikut-ikutan menghakimi mereka, kita perlu mempertanyakan apakah stigma ini beralasan atau tidak.
Menghadirkan empati
Sebagai masyarakat yang semakin beradab, kita sebaiknya memahami bahwa setiap generasi memiliki tantangan dan kesempatan yang berbeda-beda. Generasi strawberry menghadapi situasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di tengah perubahan sosial yang cepat, tekanan akademik yang tinggi, dan persaingan kerja yang ketat. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menempatkan diri kita pada posisi mereka dan mencoba memahami apa yang mereka alami.
Kualitas sumber daya
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan generasi muda adalah penurunan sumber daya pendukung. Generasi sebelumnya bisa jadi memiliki lebih banyak waktu dan perhatian dari orang tua, sementara generasi strawberry acap kali dibesarkan di tengah keluarga dengan kesibukan kedua orang tua yang bekerja atau memiliki aktivitas di luar rumah. Hal ini tentu dapat menyebabkan kurangnya waktu interaksi dan dukungan emosional yang dibutuhkan tumbuh kembang yang sehat dan setara.
Dampak teknologi
Perkembangan teknologi yang semakin pesat juga dapat memengaruhi generasi strawberry. Kemajuan teknologi telah membawa kemudahan dan kenyamanan dalam kehidupan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif.
Misalnya, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan perasaan rendah diri, depresi, dan kecemasan sosial. Generasi strawberry sering kali terjebak dalam dunia maya yang dianggap "sempurna", dan sungguh tidak mudah bagi mereka ketika beradaptasi dengan realitas kehidupan yang kompleks.
Perubahan nilai dan norma
Generasi strawberry seringkali dianggap lemah karena adanya perubahan nilai dan norma sosial. Mereka biasanya lebih terbuka dalam berbagi perasaan dan emosi, serta lebih memperhatikan kesehatan mental mereka. Namun, hal ini seringkali dianggap sebagai kelemahan oleh generasi sebelumnya yang lebih menekankan pada kekuatan dan ketahanan fisik.
Hemat penulais, sebagai masyarakat yang memiliki etika modern, kita hendaknya bersikap terbuka dan mencoba memahami fenomena tumbuh suburnya stigma terhadap generasi strawberry ini. Mereka bukanlah generasi yang lemah, tetapi generasi yang menghadapi tantangan dan tekanan yang berbeda.
Dukungan dan pemahaman dari kita semua sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang generasi strawberry. Kita perlu mengganti stigma dengan penerimaan dan empati, serta membangun lingkungan yang mendukung bagi hak tumbuh kembang generasi strawberry.
Baca Juga
-
Belajar Membaca Peristiwa Perusakan Makam dengan Jernih
-
Kartini dan Gagasan tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Idul Fitri dan Renyahnya Peyek Kacang dalam Tradisi Silaturahmi
-
Antara Pangan Instan dan Kampanye Sehat, Ironi Spanduk di Pasar Tradisional
Artikel Terkait
Kolom
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Viral dan Vital: Memaknai Ulang Nasionalisme dalam Pendidikan Digital
-
Boros karena FOLU: Waspada Perilaku Konsumtif dari TikTok Shop
-
Pantai Teluk Asmara: Miniatur Raja Ampat yang Sama-Sama Tersakiti
-
Sepiring Nasi Telur di Pagi Hari: Sesuap Ungkapan Bisu Kasih Sayang Ibu
Terkini
-
Awit Sinar Alam Darajat, Lokasi Terbaik untuk Staycation di Garut
-
6 OOTD Simpel ala Vidi Aldiano untuk Inspirasi Tampil Kece saat Hangout
-
Gustavo Franca Resmi Hengkang, Wajah Baru Persib Bandung Menarik Ditunggu?
-
Lepas Ze Valente, Persik Kediri Siapkan Gebrakan Besar di Musim 2025/2026?
-
Lolos ke Ronde Keempat Kualifikasi, Indonesia Bikin Negara-Negara Asia Tenggara Makin Susah