Stunting merupakan masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini menimbulkan gangguan pertumbuhan pada anak yang ditandai dengan tinggi badan yang tidak sesuai umurnya (pendek). Dalam jangka panjang, stunting bisa menyebabkan anak rentang terkena penyakit tidak menular seperti jantung dan hipertensi. Bahkan, stunting juga bisa memicu penurunan fungsi kognitif pada anak yang membuat mereka sulit untuk menerima pelajaran dari sekolah.
Saat ini Indonesia masih berjuang untuk keluar dari jeratan stunting yang membelenggu pertumbuhan anak-anak. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022 lalu, prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6%. Angka ini mengalami penurunan sebesar 2,8 poin dari tahun sebelumnya.
Meski begitu, target penurunan stunting berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yakni sebesar 14% pada tahun 2024 nanti. Itu artinya Kementerian Kesehatan masih memiliki PR untuk menurunkan angka stunting sebesar 7,6% lagi dalam waktu satu tahun.
Jika dilihat dari faktor penyebab, stunting memang erat kaitannya dengan kekurangan asupan gizi untuk waktu yang lama. Namun, tidak sampai disitu saja, karena kurangnya asupan gizi juga memiliki latar belakang yang patut kita telusuri lebih lanjut sehingga akar permasalahan stunting bisa dihilangkan sampai benar-benar tuntas.
Kementerian Kesehatan RI menjelaskan bahwa kurangnya pengetahuan orang tua, tingkat pendidikan yang rendah, faktor ekonomi, pemberian ASI ekslusif, dan pola asuh menjadi alasan mengapa seorang anak tidak mendapatkan asupan gizi yang optimal untuk tumbuh kembangnya.
Selain itu, adapula alasan lain yang sering diabaikan karena dianggap tidak terlalu berpengaruh terhadap kejadian stunting, yakni kebiasaan merokok para orang tua. Sebenarnya, rokok telah menjadi masalah klasik di lingkungan masyarakat menengah kebawah, dan saat ini dampak rokok tersebut ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.
BACA JUGA: Edukasi Kesehatan Mental Guna Mewujudkan Remaja Sehat Fisik, Psikis dan Sosial
Berdasarkan data yang dihimpun dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, jumlah perokok dewasa di Indonesia mengalami penambahan yang signifikan. Pada tahun 2011 lalu, jumlah perokok dewasa sebanyak 60,3 juta orang, namun pada tahun 2021 lalu jumlah ini justru bertambah besar menjadi 69,1 juta orang. Upaya pemerintah dalam menaikkan harga rokok tampaknya belum membuat para perokok berhenti dari kebiasaan buruknya ini. Terbukti dari jumlah perokok yang justru semakin bertambah setiap tahunnya.
Lantas, bagaimana kaitan antara stunting dan rokok? Jika kita lihat dari segi pengeluaran bulanan, kebanyakan orang tua khususnya ayah sang anak justru lebih mengutamakan pembelian rokok ketimbang bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam masa pertumbuhannya.
Jika kita asumsikan pendapatan harian rumah tangga sebesar 50 ribu rupiah, maka hampir setengahnya digunakan untuk membeli rokok. Angka ini tentu lebih besar ketimbang harga telur, tempe, tahu, dan sayuran yang bisa memenuhi asupan karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral.
Kebutuhan harian rumah tangga juga tak hanya untuk membeli makan dan rokok saja, masih ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Kondisi inilah yang memicu berkurangnya kemampuan daya beli makanan bergizi untuk memenuhi asupan anak. Jika saja orang tua mau mengalah untuk tidak merokok, maka bisa dipastikan anak-anak Indonesia bisa terbebas dari jeratan stunting.
Tak sampai disitu, paparan kimia dari asap rokok turut menyumbangkan dampak stunting pada anak. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tim Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), menjelaskan bahwa anak yang tinggal dengan orang tua yang perokok kronis dan perokok transien, cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dalam berat dan tinggi badan. Sedangkan anak yang tinggal dengan orang tua tidak merokok tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi.
Untuk itu, pemerintah harus terus berupaya memberikan edukasi kepada orang tua tentang dampak rokok terhadap kejadian stunting pada anak,khsusunya bagi orang tua yang memang memiliki tingkat pengetahuan serta pendidikan yang rendah. Pemberian edukasi tersebut juga akan lebih efektif jika menggandeng para tokoh masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan pemahaman kepada orang tua dan masyarakat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
6 Penyebab Penis Berdarah yang Perlu Anda Waspadai, Pernah Mengalaminya?
-
6 Penyebab Mata Kaki Bengkak, Mulai dari Cedera hingga Penyakit Ginjal
-
Catat! Ini 4 Posisi Tidur yang Dianjurkan bagi Ibu Hamil
-
Jangan Anggap Remeh, Ini 5 Dampak Negatif Telat Makan bagi Kesehatan
-
5 Manfaat dan Aturan Penggunaan Minyak Ikan untuk Kucing
Artikel Terkait
-
Calon Anak Usaha FUTR Gandeng Raksasa Konstruksi China, Bidik Proyek Energi Hijau
-
Review Novel 'Perkumpulan Anak Luar Nikah', Ketika Pemalsuan Data Diri Terungkap
-
Sejumlah Perbuatan Durhaka Anak kepada Orang Tua
-
Kenaikan PPN 12% Tekan Daya Beli, Orang RI Kini Beralih ke Produk Murah
-
Obrolan Geni Faruk dan Anofial Asmid Mau Tambah Anak Jadi Omongan: Kejar Target Punya 13 Anak
Kolom
-
Miris! Ribuan Anggota TNI-Polri Terseret Judi Online, Sinyal Pembenahan?
-
Lapor Mas Wapres ala Gibran: Kebijakan Strategis atau Populis?
-
Tantangan Ujian Nasional Berbasis Komputer: Ketimpangan Akses, Perspektif Guru, dan Alternatif Penilaian yang Adil
-
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
-
Hikayat Sarjana di Mana-mana
Terkini
-
Orang yang Tepat di Waktu yang Salah Cuma Mitos, Stop Nyalahin Keadaan!
-
Ulasan Buku Hidup Enggak Selalu Drama, Santai Aja: Kunci Jalani Kehidupan Lebih Santai
-
Review Film Chicken for Linda!, Animasi Prancis Penuh Tawa dan Kehangatan Raih Banyak Penghargaan
-
Bergaya Chill dan Trendy dengan 4 Ide Outfit Hangout ala Taeyeon SNSD
-
Herve Renard Punya Kenangan Apik dengan Arab Saudi, Ancaman bagi Indonesia?