Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Maulana Iqbal
Masyarakat (Pixabay/geralt)

Pernah nggak sih kalian sadar kalau semakin mendekati 2024 itu banyak orang yang tiba-tiba baik, semakin mendekati pesta demokrasi tiba-tiba banyak bantuan dari sana sini, tiba-tiba banyak kunjungan elit ke desa-desa. Bahkan semakin ke sini, media sosial kita dipenuhi oleh berbagai pencitraan orang-orang yang bermaksud politis.

Ya, itulah yang dinamakan dramaturgi. Konsep ini pertama kali keluar dari pikiran sosiolog Amerika, Erving Goffman. Ia sebenarnya nggak bermaksud untuk menyoalkan politik praktis seperti yang kita lihat sehari-hari ini. Melainkan ia hendak menjelaskan bahwa kita hidup itu selalu menggunakan dramaturgi, bak sebuah panggung sandiwara yang menciptakan citra.

Inilah yang kemudian disebut Goffman sebagai front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang) dalam sebuah panggung drama sandiwara. Kita hidup dalam dua panggung itu, antara depan dan belakang.

Panggung depan adalah permainan peran, sebuah pertunjukan untuk menghadirkand diri yang terbaik ke penonton yang melihat kita. Sedangkan panggung belakang adalah ketika kita mundur dari sebuah peran sosial, yang tidak ada penonton, tidak ada interaksi di dalamnya.

Misal sederhananya begini, kalau di dalam kamar kita akan memakain pakaian yang asal-asalan, yang penting nyaman, buruk pun tak jadi masalah. Namun, ketika kita ke mall, kuliah, dan ruang publik lainnya, kita pasti akan mengenakan pakaian yang sebagus mungkin, segilap mungkin, semenarik mungkin.

Dan, mekanisme semacam inilah yang sering kita temui dalam berbagai pesta demokrasi. Baik kelak 2024, tahun lalu 2019 dan beberapa tahun belakangan. Ketika kekuasaan sudah tidak bisa melakukan represi, hanya bisa melakukan demokrasi, maka dramaturgi adalah cara politisi untuk dapat mempengaruhi kita selaku rakyat biasa.

Jadi, jangan heran ketika ada temanmu yang awalnya biasa-biasa saja, cukup cuek dengan kehidupan sosial, kemudian tiba-tiba jelang 2024 suka memberi bantuan ke orang lain, suka memberi sembako ke sopir angkot, suka mendengar curhatan kelas bawah dan seterusnya. Fix, ia sedang nyaleg, ia sedang memainkan peran terbaiknnya untuk menciptakan kesan atas dirinya.

Inilah yang kemudian disebut Goffman sebagai “pengelolaan kesan” (impression management). Bahwa seseorang melakukan sebuah tindakan tertentu agar mereka diterima orang lain. Agar mereka mendapatkan atensi dari orang lain. Biar seseorang dapat menciptakan citra atas dirinya.

Kenapa pak Ganjar kok tiba-tiba blusukan ke Papua? Ya, karena ia sedang melakukan manajemen kesan agar dianggap perhatian pada masyarakat Papua. Kenapa pak Prabowo tiba-tiba bertingkah lucu dan memakain pakaian yang soft? Ya, karena ia sedang mencuri perhatian kalangan pemuda. Kenapa pak Anies selalu mengenakan kopyah dan blusukan ke pesantren? Ya, karena ia pengen diterima dikalangan muslim agar mendukungnya.

Begitulah dramaturgi bekerja untuk menipu publik. Oleh karenanya, kalau menilai pemimpin yang kalian pilih jangan berdasarkan apa yang dilakukannya baru-baru ini saja. Saya yakin itu hanyalah dramaturgi saja. Tapi, perhatikan panggung belakangnya juga, karena di panggung belakang adalah diri sejati dari seseorang.

Mohammad Maulana Iqbal