Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Maulana Iqbal
Ilustrasi media digital (Pixabay/MarieXMartin)

Pernah nggak sih kalian merasa bahwa kehidupan di media sosial itu lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih membebaskan, atau apa pun itu pokok yang enak-enak. Atau mungkin, pernah nggak sih kalian merasa bahwa kalian itu lebih dihargai, lebih didengar, lebih bisa speak up ketika berada di media sosial jika di bandingkan dunia nyata kalian sendiri.

Saya rasa banyak di antara kita yang mengalami hal demikian, apalagi di kehidupan yang saat ini serba digital. Dikit-dikit digital, sekolah digital, kampus digital, belanja digital, nyari gebetan secara digital, bekerja secara digital, bahkan bayar parkir pun juga digital. Digital membuat banyak orang merasa lebih nyaman di dalamnya. Digital membuat banyak manusia hidup bak di surga yang sesuai dengan keinginannya.

Banyak orang ketika hidup di kehidupan nyata hanyalah sosok manusia biasa, hanyalah seorang individu biasa yang nggak ada lebih-lebihnya, bahkan ia terkucilkan, dijauhi dan dianggap rendah. Namun, ketika ia berada di dunia digital, berada di media sosial, atau berada di jejaring internet, justru ia merupakan seorang pencerah, merupakan seorang yang berpengaruh, orang yang lebih dihargai, lebih disanjung dan lain sebagainya.

“Mengapa orang memilih hidup dalam dunia palsu? Aku tak bisa memahaminya,” tanya Grey Trace kepada seorang peretas dalam sebuah film Upgrade (2018). Sembari meretas kode AI (Artificial Intelligence) dalam tubuh Grey, peretas tersebut pun menjawab “dunia palsu tak begitu menyakitkan dibandingkan dunia nyata.”

Jawaban singkat itulah yang mencerminkan bagaimana kehidupan manusia saat ini. Mereka lebih nyaman, lebih dihargai, lebih menjadi individu yang berkualitas ketika berada di dunia palsu, dunia digital bahkan dunia simulasi. Meskipun ia harus menghapus identitas dan menjadi identitas lain dalam dunia palsu tersebut.

Sebagaimana dalam film Ready Player One (2018), di mana Wade Watts lebih dihargai bahkan lebih disanjung di kehidupan Oasis (sebuah kehidupan semacam metaverse yang digadang-gadang oleh Mark Zuckerberg) karena berhasil menemukan kunci untuk menguasai saham keseluruhan dari Oasis, dibandingkan kehidupan nyatanya yang hanya seorang remaja biasa saja yang sering kenak marah oleh kekasih ibunya.

Meskipun kehidupan media sosial, kehidupan metaverse kelak hanyalah dunia palsu, namun ia menjanjikan kehidupan yang lebih baik jika dibandingkan dunia nyata saat ini. Bahkan beberapa masyarakat saat ini dan mungkin masyarakat ke depan, menganggap bahwa dunia ‘nyata’ yang benar-benar nyata ya kehidupan media sosial itu atau kehidupan metaverse itu, sedangkan kehidupan nyata yang dialami orang primitif hanyalah dunia palsu yang penuh dengan penderitaan.

Kalau kata seorang sosiolog postmodern yakni Jean Baudrillard dalam sebuah bukunya Simulacra and Simulation (1983), bahwa kehidupan masyarakat era postmodern itu mengalami hiper-realitas dimana mereka sulit membedakan mana kehidupan yang nyata dan mana kehidupan yang palsu. Bahkan media itu sendiri merupakan kehidupan palsu yang dianggap nyata, sedangkan kehidupan nyata hanyalah kepalsuan belaka. Pasalnya, mereka lebih menikmati hidup di dunia simulasi, dengan berbagai identitas barunya, jika dibandingkan dengan dunia nyata itu sendiri.

Sehingga batas-batas antara dunia nyata dan dunia simulasi itu sudah kabur. Layaknya kehidupan di dunia Matrix dalam film The Matrix (1999) yang mana manusia di dunia Matrix nggak sadar bahwa kehidupannya itu hanyalah simulasi, sedangkan kehidupan nyata mereka mengalami eksploitasi oleh mesin-mesin robot yang telah menguasai bumi.

Kalau menurut Baudrillard, bahwa kehidupan simulasi itu justru lebih nyata jika daripada kehidupan nyata itu sendiri. Misalnya, demokrasi itu lebih bisa ditegakkan dan dijalankan di media sosial dengan segala kebebasan berekspresi netizen, jika dibandingkan harus berdemo di depan istana negara. Melalui media sosial, masyarakat bisa langsung nge-tag, bisa langsung nge-DM, bisa langsung mengkritik pemerintah, jika dibandingkan dengan harus susah payah berdemo dengan segala keruwetan birokratif dibaliknya. Kehidupan simulasi lebih nyata dari pada kenyataan itu sendiri.

Bahkan lebih daripada itu, masyarakat kita saat ini kalau kata Baudrillard lebih senang hidup dengan kepalsuan, bahkan identitas mereka dipenuhi dengan kepalsuan dan citra. Misalnya, bermedia sosial dengan akun anonim agar lebih bisa berselancar secara bebas di dunia simulasi tersebut.

Lebih daripada itu, justru banyak dari masyarakat kita yang melakukan simulacrum atau duplikasi hanya untuk perbaikan citranya, meskipun itu hanyalah kepalsuan belaka. Misalnya, berapa banyak perempuan yang bela-belain untuk tampil cantik, putih, hidung mancung layaknya Barbie yang hanya tokoh fiktif belaka. Berapa banyak laki-laki yang berusaha tampil keren dengan rambut panjang layaknya Sasuke yang hanya tokoh fiktif pula. 

Jadi, di era sekarang itu, tokoh fiktif tidak meniru kita selaku manusia yang nyata, melainkan justru kitalah yang meniru alias menduplikasi tokoh-tokoh fiktif ini demi citra dan kepalsuan-kepalsuan yang hendak dimunculkan. Dalam konteks ini, justru tokoh fiktif itulah yang nyata, yang menjadi panutan, yang menjadi pedoman, yang menjadi entitas untuk di tiru oleh para manusia saat ini.

Kemudian, kepalsuan-kepalsuan identitas atau duplikasi-duplikasi ini lah yang akan diunggah di media sosial untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa ini loh saya, ini loh saya yang cantik, tampan, keren dan lain sebagainya. Citra adalah kunci di era saat ini, namun citranya tidak di kehidupan nyata, melainkan kehidupan simulasi yang penuh dengan kepalsuan yang dianggap nyata.

Miris? Tentu saja. Begitulah kehidupan kita saat ini, di mana kehidupan simulasi yang penuh dengan kepalsuan tapi dianggap nyata oleh manusia itu sendiri. Namun, skeptis pada dunia digital adalah sebuah ketidakmungkinan, namun mengikuti arus digital secara buta juga adalah sebuah kebodohan. Sehingga bijak adalah kunci, agar tidak diinjak-injak oleh arus globalisasi.

Mohammad Maulana Iqbal