Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Ilustrasi KDRT. (Pixabay/@Tumisu)

Kasus kekerasan masih menjadi problem besar dalam negeri kita. Bahkan, kasus kekerasan ini terus bertambah walau kasus sebelumnya belum juga usai, termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 

Menurut Ganely dalam studinya “Understanding Domestic Violence," menyebut bahwa KDRT merupakan pola perilaku penyerangan dan pemaksaan, termasuk serangan fisik, seksual, dan psikologis, serta pemaksaan ekonomi, yang dilakukan oleh orang dewasa atau remaja terhadap pasangan intim mereka. 

Sebenarnya KDRT ini juga telah dibahas khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

BACA JUGA: Mahasiswa Antusias Revolusi Pendidikan, Skripsi Tak Wajib Lagi

Meski sudah ada larangan secara tegas, baik secara hukum maupun moral, nyatanya KDRT masih kerap saja terjadi. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sepanjang tahun 2023 (data terakhir dilansir 14 September 2023), total keseluruhan jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus, dari angka tersebut korban terbanyak adalah perempuan yaitu yamg mencapai 16.351 orang.

Dari keseluruhan jumlah kasus, ada 11,324 kasus KDRT. Jumlah korban dalam kasus KDRT mencapai 12.158 atau tertinggi dibandingkan kategori lainnya. 

Melihat angka ini tentu bisa membuat kita merinding. Pasalnya, rumah tangga yang harusnya sebagai tempat berlindung dan memberikan kenyamanan, malah menjadi ladang terjadinya KDRT, bahkan tak sedikit juga justru membuat korban meregang nyawa. 

Termasuk kasus KDRT yang menyebabkan istri meninggal dari tangan semuanya sendiri, seperti kasus Nando kepada istrinya Mega Suryani Dewi, pada Kamis, 7 September 2023 lalu, di Cikarang. Kasus Ema Sumarna meninggal dunia di tangan suaminya sendiri, pada Senin, 5 Juni 2023 lalu, usai dianiaya dan diikat lehernya menggunakan sarung. Hingga kasus MD yang dibunuh suaminya, pada 14 Mei 2023 di Pati. Kasus demikian ini masih menjadi kasus kecil dari yang disebutkan. 

Terlebih dari itu, dalam kasus KDRT yang berujung pada hukum yang berlaku, nyatanya banyak juga kasus KDRT justru berakhir dengan perdamaian atau maaf-maafan. 

Termasuk kasus Nando yang disebutkan di atas, sebelum Nando membunuh istrinya, ia lebih dulu pernah dilaporkan sebagai pelaku KDRT, akan tetapi laporan itu malah berakhir damai. Ada pula kasus KDRT yang menimpa MRY di Pasuruan yang viral beberapa bulan lalu, lagi-lagi berakhir dengan restorative justice alis damai. 

Kondisi semacam ini, jelas bukan solusi yang tepat dalam penghapusan KDRT. Kasus yang berakhir damai tidak bisa menjamin kalau pelaku tidak melakukan hal yang sama, masih mending sih kalau korban mau atau berkesempatan untuk speak up. Tapi, bagaimana kalau tidak sempat atau tidak mau? 

BACA JUGA: Judi Online, Niat Untung Malah Buntung!

Sebenarnya, tindakan KDRT jelas tidak bisa dibenarkan, korban harus bisa mendapatkan perlindungan dari pelaku atas kekerasan KDRT yang dilakukan. Tentunya hukum mesti bisa ditegakkan dalam hal menangani kasus KDRT. 

Kalau KDRT hanya berakhir damai atau maaf-maafan, itu mesti penuh pertimbangan. Jangan sampai di tengah kemaafan tersebut justru terulang kejadian yang sama. 

Hal ini mesti dipikirkan oleh korban yang mengalami KDRT, jangan hanya karena masih cinta lantas penegakkan kasus KDRT itu seketika hilang. Sebenarnya pradoks juga sih, jika dalam rumah tangga masih berdasar pada unsur saling mencintai, jelas tidak akan terjadi yang namanya KDRT. 

Jadi tolong sadarlah, kasus KDRT tidak segampang itu hanya diselesaikan dengan cara maaf-maafan saja, pelaku mesti diberikan efek jera. Dan yang terpenting, pemerintah harus ambil bagian untuk melindungi korban, baik dari segi keamanan maupun kebutuhan pribadi korban dari gencatan trauma dan persoalan ekonomi. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Budi Prathama