Lingkup pendidikan seringkali dipandang sebagai lingkungan yang aman dan bebas dari tindakan tercela, menjadi tempat di mana seseorang menempuh pendidikan untuk dapat belajar, berkembang, dan berinteraksi tanpa rasa takut atau ancaman. Citra positif lingkungan pendidikan sering digaungkan untuk menampilkan sisi terbaik lingkungan tersebut dapat mendukung kegiatan pembelajaran yang bersahabat bagi pelajar. Namun, dibalik sisi positif lingkup pendidikan tersembunyi realitas gelap di balik dinding pendidikan, yaitu aksi kekerasan seksual yang marak terjadi.
Disadur dari data yang dihimpun berdasarkan aduan ke Komnas Perempuan pada tahun 2020, terdapat 88% kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Hal tersebut diperkeruh dengan adanya data yang dilaporkan oleh Kementerian PPPA pada tahun 2022 yang menyatakan bahwa adanya kenaikan kasus kekerasan seksual pada anak di satuan pendidikan di Indonesia selama empat tahun terakhir sebesar 21.221 orang.
Besarnya angka yang ditunjukan mengenai kasus kekerasan seksual menunjukkan sinyal bahwa lingkungan pendidikan saat ini dapat menjadi tempat yang jauh dari rasa aman bagi pelajar dalam menempuh pendidikan. Tak jarang banyak pihak yang bungkam terhadap adanya kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan. Hal ini dapat meninggalkan trauma mendalam bagi korban dan merusak citra pendidikan.
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yang Kerap Dibungkam
Kerap kali institusi di lingkungan pendidikan bungkam terhadap kasus kekerasan seksual yang melibatkan peserta didik mereka. Hadirnya pusat konseling tidak sepenuhnya efektif dalam menanggapi masalah yang dialami oleh korban kekerasan seksual.
Hal tersebut dikarenakan pelaku kekerasan seksual tidak hanya berasal dari kalangan sebaya namun juga dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding korban. Guna menutupi cacatnya lembaga pendidikan, beberapa dari lembaga tersebut memilih untuk merahasiakan kasus-kasus itu, karena dianggap sebagai aib bagi nama mereka.
Ironisnya meski terdapat layanan pengaduan korban kekerasan, hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan dalam memberantas kasus kekerasan seksual. Terkadang penanganan kasus kekerasan seksual kerap menjumpai benang kusut, sehingga proses penanganannya berjalan dengan tidak efektif dan merugikan korban.
Bayang-bayang trauma dapat mempengaruhi kondisi psikologis korban seperti, sulitnya mengekspresikan diri, timbulnya rasa takut atau cemas yang berkepanjangan, dan mengganggu perkembangan emosional mereka. Pengaruh negatif dari kekerasan seksual bisa berjangka panjang dan mengganggu proses pembelajaran serta perkembangan diri pelajar. Kekerasan seksual mampu berdampak dalam hubungan sosial interaksi dan bahkan merusak kepercayaan diri mereka.
Menciptakan Kesadaran Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual
Menciptakan kesadaran akan pentingnya ruang aman tanpa kekerasan seksual merupakan suatu keharusan yang mendesak dalam upaya mencegah dan mengatasi kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan. Kesadaran akan perlindungan kekerasan seksual dapat dilakukan melalui edukasi mengenai pentingnya etika dalam menjaga dan menghargai hak-hak individu untuk tidak melewati batasan. Pentingnya untuk mengubah perspektif bahwa kekerasan seksual bukanlah masalah yang sepele atau bisa diabaikan, melainkan merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan martabat individu.
Peran dari lembaga pendidikan juga sangat penting dalam mendukung lingkungan pendidikan yang bebas dari timbulnya kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini lembaga pendidikan mempunyai peran untuk mencegah kekerasan seksual, yaitu dengan membentuk peraturan dan kebijakan ketat yang jelas terkait dengan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Lembaga pendidikan harus dapat bertindak tegas untuk memberantas kasus kekerasan seksual tanpa memandang status dari pelaku.
Melalui adanya langkah serius dan adil untuk lembaga pendidikan bisa menangani kasus kekerasan seksual, maka lembaga pendidikan dapat menentang secara tegas bahwa kekerasan seksual tidak akan ditoleransi dalam lingkungan mereka. Langkah ini tidak hanya membantu dalam pencegahan langsung kekerasan seksual, tetapi juga membangun rasa aman bagi korban maupun lingkungan di sekitar mereka.
Tag
Baca Juga
-
Demam Clash Of Champions! Yuk Intip Strategi Peserta untuk Pecahkan Tantangan
-
Jangan Minder Pakai Baju Berulang-ulang, Ini Langkah Kecil Selamatkan Bumi
-
Dilema Masyarakat: Pembatasan Usia di Berbagai Bidang dan Dampaknya
-
FOMO Menjelang Kuliah: Menetapkan Pilihan Berdasarkan Minat Bukan Teman
-
Cantik yang Merusak: Mengungkap Eksploitasi Lingkungan oleh Limbah Furniture yang Kerap Diabaikan Mata
Artikel Terkait
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
3 Pelembab untuk Skin Barrier Ramah di Kantong Pelajar, Harga Rp40 Ribuan
-
Tantangan Ujian Nasional Berbasis Komputer: Ketimpangan Akses, Perspektif Guru, dan Alternatif Penilaian yang Adil
-
Hikayat Sarjana di Mana-mana
-
Kecewa Tidak Lulus Ujian, Siswa di China Tikam Murid Lain: 8 Orang Tewas 17 Luka-luka
Kolom
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Miris! Ribuan Anggota TNI-Polri Terseret Judi Online, Sinyal Pembenahan?
-
Lapor Mas Wapres ala Gibran: Kebijakan Strategis atau Populis?
-
Tantangan Ujian Nasional Berbasis Komputer: Ketimpangan Akses, Perspektif Guru, dan Alternatif Penilaian yang Adil
-
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
Terkini
-
3 Rekomendasi Masker Jelly Lokal untuk Meredakan Kulit Kemerahan
-
4 Film yang Diperankan oleh Kristo Immanuel, Terbaru The Shadow Strays
-
Ulasan Buku Tak Apa-Apa Jika Harus Berhenti Karya Julia Keller
-
Timnas Indonesia, Kualifikasi Piala Dunia 2026, dan Satu Poin Sakral yang Tak Kunjung Didapatkan
-
ENHYPEN Umumkan Jadwal Baru Tur Dunia Walk The Line di Asia