Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Aksi Mahasiswa Tolak Revisi UU Pilkada Berujung Rusak Fasilitas di kabupaten Majene. (DocPribadi/budiprathama)

Amukan perasaan marah dari masyarakat melihat kondisi demokrasi Indonesia dapat kita saksikah hari ini. Ribuan mahasiswa, para aktivis, dan masyarakat sipil kembali turun ke jalan untuk melakukan aksi demostrasi atas penolakan rencana revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024.

Melihat kondisi yang terjadi, ribuan massa turun ke jalan membawa sejumlah keresahan dan menuntut kepada pemerintah untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pilkada Serentak.

Sebenarnya amukan massa dalam demostrasi tersebut tidak hanya dari situ saja, mereka menilai sudah muak dengan kondisi demokrasi yang bisa dipermainkan para elit penguasa hari ini. Alhasil, menjadi sebuah trend dan tudingan kalau negara ini seakan milik satu keluarga saja.

Demosntrasi tolak revisi UU Pilkada di kabupaten Majene berakhir rusak fasilitas kantor DPRD Majene

Seperti telah diketahui, aksi penolakan revisi UU Pilkada ini telah digelar di berbagai daerah dan ini sudah menjadi isu nasional. Mulai dari tingkat pusat hingga sampai ke daerah, para mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan demostrasi dan menyampaikan aspirasi mengenai kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja.

Termasuk di kabupaten Majene, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Majene (SPMM), menggelar aksi demostrasi di kantor DPRD Majene pada Jumat (23/8/2024) sore.

Aksi mahasiswa di Kabupaten Majene tersebut kini jadi sorotan publik dan bahkan menjadi liputan dari media-media nasional, pasalnya aksi tolak revisi UU Pilkada malah berujung dengan rusaknya berbagai fasilitas kantor DPRD Majene.

Melihat insiden ini tentu menimbulkan banyak perspektif dan banyak yang menilai kurang etis karena melakukan aksi vandalisme dan merusak fasilitas pemerintah. Hingga akhirnya, video-video perusakan fasilitas kantor DPRD Majene pun kini banyak beredar di media sosial dan dinalai aksi mahasiswa tersebut tidak pantas dilakukan.

Aksi mahasiswa rusak fasilitas Kantor DPRD, apakah adil terlalu menyudutkan mahasiswa?

Kerusakah fasilitas kantor DPRD Majene atas aksi mahasiswa menolak revisi UU Pilkada memang sedikit menarik perhatian kita, terutama masyarakat Majene, dan masyarakat Sulawesi Barat pada umumnya. Aksi ini banyak yang menilai kurang etis hingga timbul penilaian dari berbagai media sosial yang menyudutkan mahasiswa.

Ya, secara pribadi penulis menilai hal tersebut memang kurang bisa dibenarkan, namun menyudutkan mahasiswa dengan berbagai argumentasi negatif menurut saya perlu juga pandangan secara utuh dan menyeluruh.

Dalam aksi demonstasi tolak revisi UU Pilkada yang terjadi di kabupaten Majene, para demonstran berhasil memasuk kantor DPRD Majene dan berharap bisa bertemu langsung dengan para pimpinan DPRD dan berharap DPRD Majene bisa membuat pernyataan sikap resmi untuk memboikot Pilkada Serentak 2024 jika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 tidak dijalankan.

Namun, harapan massa aksi tersebut tidak mendapat gambaran dan tidak ditemui oleh pimpinan DPRD Majene. Menurut Jenderal Lapangan SPMM, Misbahuddin, dari situlah penyebab memuncaknya emosi massa.

Walaupun, ada 1 anggota DPRD Majene yang menemui massa aksi namun ia tak mampu memberikan keputusan. Massa aksi pun kecewa, karena dari 25 angggota DPRD Majene, namun mereka tidak hadir menumui massa aksi.

Situasi inilah yang memicu aksi perusakan di ruang paripurna DPRD Majene terjadi, sebagaimana dalam tayangan video yang dibagikan lewat akun Instagram @info_majene.

Dari berbagai video yang beredar, kini aksi demonstarasi di kabupaten Majene banyak yang menilai kurang etis dan terlalu menyudutkan mahasiswa di berbagai postingan media sosial.

Dengan kejadian ini, apakah dengan pantas terlalu menyudutkan mahasiswa? Mereka turun melakukan aksi demostrasi sebagai bentuk kepedualin terhadaap demokrasi, namun justru disudutkan hanya karena rusaknya fasilitas kantor DPRD Majene.

Ini mesti menjadi perhatian bersama, mereka yang turun ke jalan adalah bagian dari orang yang peduli terhadap demokrasi hari ini. Dengan berbagai pandangan yang menyudutkan mahasiswa, saya justru khawatir malah merusak mental mereka sebagai harapan bangsa untuk bisa mengawal kebijakan pemerintah.

Kalau aksi mahasiwa hari ini diintimidasi dan disudutkan, kira-kira apakah itu justru menimbulkan mahasiswa yang tidak peduli terhdap kondisi negara.

Justru dengan kejadian ini, mestinya menjadi pembelajaran bersama. Tentunya mahasiswa akan melakukan evaluasi dan juga pemerintah juga mesti mendengarkan setiap aspirasi yang disampaikan.

Tentu kita semua akan marah, ketika suara tidak didengarkan saat menuntut untuk perbaikan tetapi pemerintah seakan buta dengan hal tersebut. Kesabaran setiap orang tentu ada batasnya, termasuk mahasiswa.

Jika mereka turun melakukan aksi demonstarsi tetapi hanya dipermainkan saja, apa yang disampaikan diabaikan begitu saja, tentu mereka juga akan marah yang bisa membuat mereka meluapkan emosi dan melakukan tindakan yang kurang etis karena ulah pemerintah sendiri.

Kalau kita bisa membandingkan, perusakan terhadap fasilitas kantor DPRD Majene, itu tak seberapa dengan perlakukan pemerintah terhadap rakyatnya. Pemerintah dengan tidak kapoknya melakukan tindakan korupsi padahal itu sudah jelas-jelas pelanggaran, pemerintah dengan seenaknya merubah UU hanya untuk kepentingannnya sendiri, pemerintah dengan seenaknya melakukan intimidasi terhadap rakyat yang melakukan protes terhadap pemerintah, dan masih banyak keganjalan lain dilakukan oleh pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Apakah ini pantas untuk dilakukan? Jawabannya tentu tidak. Oleh karena itu, berhenti menghakimi mahasiswa dan menyudutkan mahasiswa. Ini terjadi karena ulah pemerintah sendiri yang berbuat dengan seenaknya.   

Budi Prathama